SEJARAH JEMAAT

 

SEJARAH JEMAAT

GMIM BAIT'EL RITEY






Kata Pengantar

 

Syalom…….!

Puji  Syukur  kami  panjatkan  kepada Tuhan Yesus Kristus, sebab oleh perkenan-Nya maka kami Tim Sinkronisasi Rumusan Sejarah Jemaat dapat mensinkronkan buku sejarah Jemaat GMIM Bait’El Ritey dengan buku sejarah Desa Ritey. Perbedaannya antara lain adalah penulisan akan berdirinya Desa Ritey awal versi sejarah jemaat berdiri tahun 1575 sedangkan sejarah Desa Ritey tahun 1505, akan hal tersebut sudah disinkronkan berdasarkan sejarah Desa Ritey tahun 1505. Demikian juga hal-hal lain yang berhubungan dengan peristiwa pelayanan dan pelaku dalam pelayanan sejak tahun 2005 sampai tahun 2019 sudah di cantumkan dalam penulisan sejarah Jemaat.

Oleh karena itu agar peristiwa pelayanan dan pelaku dalam pelayanan dapat diingat sebaiknya maksimal setiap 1 periode pelayanan (4 tahun) dapat di update.

“I m a n u e l”

 

 

 

    

Ritey,    Juni 2019


Salam Kasih dari Tim Sinkronisasi Sejarah Jemaat:

1.    Pnt. Tedy Ch. Tumurang, S.E.

2.    Drs. Festus Lumankun, M.Pd.

3.    Pnt. Drs. Joudy Sangkoy, M.Si.

4.    Pnt. Vicky Sangkoy, S.Pd, M.Pd.

5.    Junaedy Sangkoy

6.    Roli Tutu




BAB I

PENDAHULUAN

 

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus Kepala Gereja yang telah menyertai, menuntun dan berkenan memampukan kami untuk dapat menyelesaikan penyusunan sejarah jemaat GMIM Bait’El Ritey.

Sejarah jemaat merupakan salah satu penuntun arah perjalanan gereja kedepan karena dengan memahami sejarah jemaat maka kita juga akan memberikan arah bagi pelayanan Gereja dalam rangka menuntun jemaat untuk menyadari tugas dan panggilan Gereja di dunia ini yaitu : Bersaksi, Bersekutu dan Melayani.

Penyusunan sejarah jemaat ini adalah juga untuk memenuhi harapan BPS GMIM tentang perlu adanya sejarah  jemaat di masing-masing jemaat.  Adapun dasar sejarah jemaat ini adalah melalui koordinasi serta himpunan dari berbagai cerita dan informasi dari berbagai tokoh, tua-tua Pemaat dan tokoh-tokoh masyarakat serta data yang diperoleh berdasarkan arsip jemaat.

Kami menyadari bahwa penyusunan dan penyajian sejarah jemaat ini terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan, namun isi dari sejarah jemaat ini telah menyangkut dan mencakupi berbagai latar belakang dan peristiwa berdasarkan fakta sejarah yang ada sehingga dapatlah memberikan gambaran tentang keadaan dan keberadaan jemaat GMIM BAIT’EL RITEY.

Kiranya Sejarah jemaat ini akan memberi nuansa pelayanan yang lebih cerah demi tersentuhnya semua aspek pelayanan jemaat yang akurat, aktual, efisien dan demi tercapainya tujuan pelayanan untuk hormat dan kemuliaan nama Tuhan.


BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN JEMAAT GMIM RITEY

 

A.            Asal Usul Terbentuknya  Jemaat

Pada dasarnya disadari dan dipahami bahwa, setiap orang yang ingin mempelajari sejarah adalah wajar dan layak jika seseorang menyadari bahwa apa yang dipelajarinya itu adalah menyangkut dengan cerita-cerita atau kisah-kisah yang dIbuat, diciptakan dan diawasi oleh “Sang Pembuat Sejarah”, Dialah Tuhan, Pencipta alam semesta.

Melalui tulisan ini adalah penting bagi warga jemaat Tuhan yang ada di Desa Ritey untuk mengetahui atau mengenal sejarah gereja dari jemaatnya sendiri. Dengan mengenal dan memahami sejarah gereja, itu berarti atau sekaligus akan menghargai dan menghormati jeri dan juang dari pada pendahulu, pionir-pionir (tokoh-tokoh perintis) yang terpanggil, terutus dan dipakai Tuhan secara luar biasa.

       Selanjutnya merupakan secuil/sekelumit sejarah dan perkembangan jemaat GMIM Ritey terekam melalui informasi langsung (para orang tua)  dan informasi lainnya berdasarkan literatur (artikel/tulisan) dari pendahulu-pendahulu yang dapat dikatakan sebagai tokoh-tokoh/tua-tua gereja. Oleh karena itu melalui data dan informasi yang kami peroleh dari penuturan orang tua terdahulu bahwa, penduduk Ritey berasal dari Minahasa Utara, Minahasa Tengah dan Minahasa Selatan. Hal ini membuktikan bahwa di Desa Ritey terdapat nama-nama marga seperti : Tombokan, Mamengko, Assa, Lintang, Mirah, Weken, Lonteng, Tumilaar, Lumankun, Sangkoy, Tumurang, dll. Sebelum Desa Ritey ditahbiskan (aita’di/tuma’di) kira-kira tahun 1505 diantaranya oleh dotu-dotu (Dotu Tongko Tou sebagai tona’as, Dotu Liud, Dotu Kolon, Dotu Korok, Dotu Rumondor, Dotu Sembung, Dotu Kandey, Dotu Sendow, Dotu Pandaa, Dotu Mamit, Dotu Lepa, Dotu Porayow, Dotu Rosang, penduduk desa ini sudah memeluk agama suku (alifuru) yang berbakti dan menyembah pada ilah-ilah atau dewa-dewa. Yang dimaksud dengan ilah-ilah yaitu penguasa-penguasa alam yang sakti dan gaib, bahkan tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Kita ingat nyanyian  “nanaani” yakni nyanyian leluhur kita yang mengungkapkan ilah-ilah seperti dalam syairnya berbunyi sebagai berikut ; O Empung Andang ka Tembonai Pakasa dan seterusnya.

Dewa-dewa ini adalah wahana leluhur yang didewakan karena dianggap perkasa, pemberani, seperti Toar dan Lumimuut yang dilegendakan berasal dari Angina Tumileng yang adalah pembawa butir-butir padi dari kayangan dll. Agama suku ini berakhir pada saat agama Kristen dengan penginjilannya yang intensif masuk di Desa Ritey, oleh orang Belanda dan penginjil-penginjil Jerman pada abad 18 sampai permulaan abad 19. Suatu hal yang perlu kita ketahui bahwa pada waktu orang-orang Portugis  yang beragama Roma Katolik tiba dan menguasai  Amurang, tidak berhasil masuk ke desa Ritey karena kuatnya agama suku dan karena sikap orang-orang Portugis yang ganas  serta suka berperang itu, maka leluhur-leluhur kita pula tidak kala ganasnya menentang tindakan tersebut. Hal ini tampak bahwa sampai saat sejarah ini ditulis, di desa Ritey tidak terdapat penduduk yang menganut ajaran Roma Katolik.

Bersamaan dengan pembentukan pemerintahan desa Ritey oleh pemerintah Belanda itu, maka masuk pula agama Kristen Protestan di desa Ritey. Pada waktu itu desa Ritey sedang dipimpin oleh seorang tona’as bernama LELA (nama kafir). Tona’as ini memimpin dua desa yaitu desa Ritey dan desa Malenos Lama (kini desa Malenos Baru) dan dengan adanya peyebaran agama Kristen Protestan maka tona’as Lela memerintah supaya semua penduduk masuk agama Kristen Protestan. Tona’as Lelapun turut bersama-sama dibaptiskan dan diberi nama Karel Lonteng.

Agar supaya desa Ritey dan Malenos Lama segera beralih dari kafir ke Kristen Protestan, maka penduduk di desa ini dibebaskan dari kegiatan-kegiatan atau pekerjaan desa (kerja bakti). Dan penduduk yang belum memeluk agama Kristen Protestan diwajibkan bekerja bakti pada hari Minggu untuk kepentingan desa namum hal ini tidak berlangsung lama  dan seluruh penduduk kedua desa itu memeluk agama Kristen Protestan.

Bersamaan dengan penyebaran agama Kristen inilah maka didirikanlah suatu sekolah yang disebut sekolah zending (zendelling) kira-kira tahun 1835; sekolah ini mula-mula terdiri dari tiga kelas. Kemudian tahun 1946 atas inisiatif dari guru Nehemia Mirah (alm.), sekolah ini menjadi 4 kelas. Akhirnya pada tahun 1951 atas prakarsa dari Bpk. Frans Tenges (alm.) sekolah ini menjadi 6 kelas.

Berhubung sekolah ini didirikan pada waktu tertib Administrasi Negara belum ada, maka dasar hukum berdirinya sekolah tersebut belum ada pula. Nanti pada tahun 1978 sekolah ini mempunyai dasar hukum yakni dengan adanya surat keputusan dari yayasan Kristen GMIM Tomohon No. 033/SD GMIM/78 tertanggal 1 Juni 1978. Jadi sejak awal sekolah tersebut didirikan yakni tahun 1835 sampai dengan sekarang ini (2009), tetap dalam asuhan GMIM Ritey.

Arti nama Ritey dari beberapa pengertian diantaranya diambil dari kata “Rentei “yang artinya “Tanaman yang meninggi di atas tanah akibat pengikisan air hujan; tanaman yang tumbuh kelihatan tinggi (Rumentei).

“Kumentei” dalam pengertian lain dapat berdiri dengan ujung telapak kaki untuk memperoleh sesuatu di atas tanpa menggunakan alat bantu, jadi Ritey diambil dari kata “Rentei” dan “Kumentei”.

Tetapi berdasarkan pula data/informasi dari tokoh-tokoh masyarakat bahwa secara etimologi (asal usul kata) berasal dari kata Ri’ita’ai.

Ri’ita’ai :        Riit artinya dekat

                            Rete artinya dekat (Tombulu)

                            Ei/ai artinya kemari, kesini

Jadi Ritey artinya “dekatkan kemari”.

Dengan pemahaman bahwa letak/kedudukan rumah pada waktu itu sangat berjauhan dan apabila terjadi hal buruk pada keluarga, tetangga tidak saling mengetahui dan menolong. Itu sebabnya demi keamanan maka disarankan untuk mendekat. Hal ini mengandung filosofi bahwa orang Ritey memiliki sifat rasa kasih sayang yang tinggi kepada sesamanya/tetangga/orang lain, suka hidup berdekatan/berdampingan, memiliki rasa persaudaraan, saling membantu, suka dengan kerukunan dan bersatu.

 

 

B.             Fakor Budaya

Sebelum dan sesudah kampung ini ditahbiskan (aita’di/tuma’di) orang alifuru percaya pada banyak dewa sebagai penguasa alam yang dianggap memeiliki kekuatan gaib/sakti sebagai pelindung, pembela, pemelihara, dll.

Orang yang melakoni sebagai perantara dengan dewa-dewa adalah Tona’as dan Wali’an. Mereka ini memiliki kecakapan khusus dan kekuatan gaib hitam dan putih.

1.      Matuli

Ritual upacara hasil panen sebelum makan bersama disendirikan makanan khusus untuk dewa-dewa sebagai sesajian.

2.      Rumeindeng Wo Rumani

Menyanyi sambil menari mengacungkan tangan ke atas sambil mengucapkan bahasa yang hanya dimengerti oleh Wali’an dan Tona’as diakhiri dengan ucapan : Oh wailan, oh opo-opo I semperangge matuliwo siwawaya anio we’ena’ai keted wo kamangenai

3.      Upacara Pangelepan (Upacara Pemujaan)

Rakyat dikumpul dalam suatu tempat, sementara walian dan tonaas berkeliling sambil berlompat dan berteriak dalam bahasa gaib diiringi bunyi tetengkoran dan tingtingen.

4.      Kapelik’an

Tempat tertentu yang dianggap keramat, khusus didatangi oleh walian dan tonaas.

Selanjutnya oleh karena seirama dengan percepatan kemajuan, dan perkembangan yang ada, dibarengi dengan pertumbuhan iman jemaat yang dewasa maka sosial kultur pada waktu itu sedikit demi sedikit mulai meninggalkan pola pikir budaya yang lama, sehingga ada kecenderungan dari masyarakat yang punya kerinduan  untuk mengikuti pola perkembangan budaya yang moderen.

Setelah masyarakat mau mengikuti perkembangan yang ada maka keempat faktor budaya di atas secara berangsur-angsur mulai terjadi pengikisan/bergeser. Dengan demikian karena dipandang bahwa keempat faktor budaya tersebut tidak sesuai lagi dengan kehidupan/perkembangan jemaat dewasa ini  yang semakin moderen maka budaya santun “tegur sapa” dan “tutur kata”, satu dengan yang lain, serta budaya mapalus (gotong royong), selalu dikedepankan.

Aspek-aspek budaya jemaat mula-mula yang positif yang perlu dilestarikan antara lain :

-            Pertanian : Budi daya kelapa, jagung, padi, gula batu,  sopi (cap tikus)

-            Seni Budaya : Maowey ( Maengket), rumamba dan Kabasaran

-            Falsafa Hidup : Sumerar, Tumane, Tumani, Tumou Tou

-            Aspek sosial Kemasyarakatan : Mapalus, Mentamber-tamberan, Maarukup, Mamusu sama.


BAB III

PERKEMBANGAN PENGINJILAN DAN PENDIDIKAN

 

Kekristenan sudah hadir di Indonesia sejak kedatangan Portugis dan Spanyol di Indonesia. Namun misi yang berkembang adalah misi Katolik yang pada akhirnya juga tidak berkembang dengan baik dan banyak mendapat halangan oleh kepercayaan suku yang sangat kuat dimasa itu. Pada tahun 1644 berakhirlah kegiatan misi di Indonesia dengan berakhirnya masa penjajahan Portugis dan Spanyol di Indonesia. Pada tahun 1602 pemerintah Belanda membentuk sebuah Maskapai Perkapalan yang diberi nama Verenigde Oost Indische Company (VOC) yang menggantikan Portugis dan Spanyol di Indonesia. Kehadiran VOC ini disertai juga beberapa pendeta. Hal ini berhubungan dengan munculnya minat baru terhadap pekabaran injil yang timbul di Inggris pada Abad ke-VIII dan segera berpindah ke Belanda. Pada tahun 1797 didirikan sebuah Badan Penginjilan yang diberi nama Nederlands Zendeling Genoostschap (NZG) di Rotterdam. Badan ini kemudian mengutus pendeta-pendeta ke Indonesia termasuk kebagian timur yaitu daerah Maluku, Timor dan Minahasa di mana para Zendeling menemukan kelompok-kelompok orang Kristen yang tidak terpelihara dan terawat imannya.

 

A.            Di Minahasa

Penginjilan di Minahasa sudah dimulai dengan datangnya orang Portugis dan Spanyol di tanah Minahasa. Pada tahun 1512 dalam perjalanan menuju Ternate, Portugis sempat singgah di Minahasa. Dalam kapal itu ikut serta Paderi Diego Magelhaes yang kemudian mengkristenkan 1500 orang termasuk Raja Manado pada tahun 1563. Dengan demikian pada masa itu Injil sudah mulai diberitakan di tanah Minahasa melalui misi Katolik bangsa Portugis. Namun seperti di tempat-tempat lain misi ini tidak berkembang dengan baik. Pada tahun 1644 berakhirlah kegiatan misi Katolik di Minahasa.

Pada tahun 1663 Verenigde Oost Indische Company (VOC) menggantikan kekuasaan Portugis dan Spanyol di Minahasa. Kedatangan VOC ini disertai juga beberapa orang pendeta. Salah satu diantaranya adalah Ds. Montanus yang pada tahun 1707 melaporkan bahwa terdapat 500 orang Kristen di Manado. Namun di tahun 1789-1817 jemaat-jemaat itu terbengkalai dan terlantar. Tahun 1817 Minahasa sempat dikunjungi oleh Josef Kam yang karena pekabaran injilnya di Maluku dijuluki Rasul Maluku, kemudian tahun 1819 dikunjungi oleh DS Lenting dan tahun 1827 dikunjungi oleh Hellendorn yang disebut-sebut sebagai perintis penginjilan di Minahasa. Pada tahun 1829 sebuah badan penginjilan yang bernama Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) memutuskan untuk menjadikan Minahasa sebagai lapangan Pekabaran Injil di samping Ambon dan Timor. Mereka kemudian mengutus Riedel dan Schwars ke Minahasa dengan Riedel di Tondano dan Schwars di Kakas lalu pindah ke Langowan. Tanggal 12 Juni 1831 kedua Pekabar Injil itu tiba di Manado. Dan tanggal ini kemudian ditetapkan oleh GMIM sebagai Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen karena dalam upaya melaksanakan Pekabaran Injil para penginjil membuka  sekolah-sekolah yang menarik minat orang-orang Minahasa. Faktor inilah yang menjadi salah satu penyebab hingga Pekabaran Injil di Minahasa begitu cepat berkembang dan meluas. Ditahun-tahun selanjutnya Pekabaran Injil di Minahasa berkembang seiring dengan perkembangan pendidikan Kristen di Minahasa.

               

B.            Di Amurang

Pekabaran Injil di Amurang sudah dimulai sejak datangnya orang Portugis dan Spanyol di tanah Minahasa tahun 1512. Pada tahun 1522, tanah Malesung berangsur-angsur dikuasai oleh Portugis dan Diego de Magelhaes mendapat kesempatan memulaikan misinya. Pada masa itu disekitar pantai Amurang dibangun logi-logi penampungan hasil pertanian. Desa Ritey yang berada disekitar Amurang dipengaruhi oleh kedatangan Portugis sehingga suku Minahasa bagian utara menjadikan desa Ritey sebagai tempat persembunyiannya.

Di masa sekarang ini bukti kehadiran Portugis di Amurang masih bisa ditemukan. Sebuah benteng Portugis  bisa ditemui di pantai Amurang adalah sebuah bukti kehadiran Portugis di Amurang walau tidak lagi ditemukan data akurat kapan tepatnya mereka tiba di sana. Hasil observasi dan ekskavasi tim survey dinas Arkeologi Sulawesi Utara yang dipimpin Dr. Santoso Sughodo tahun 1991-2000 menemukan bahwa Gerjea Sentrum, Penjara Amurang, dan ex-Kantor Koramil termasuk dalam areal benteng tersebut. Dulunya di atas tanah yang kini didirikan Gereja Sentrum terdapat Kapel yang menjadi tempat beribadah para penghuni benteng dan masyarakat sekitar yang telah menjadi Kristen.

Pada tahun 1644 - 1645 suatu armada Spanyol memasuki teluk Amurang dari Filipina. Armada itu mendarat di pantai Kawangkoan Bawah dan mendirikan benteng di sana. Karena sikap kejam bangsa Spanyol terjadi perlawanan dari golongan suku-suku di Minahasa. Spanyol kemudian terdesak dan meminta bantuan pada Verenigde Oost Indische Company (VOC) yang telah berada di Ternate.

Harus diakui walau kehadiran Portugis dan Spanyol di Minahasa/Amurang adalah sebagai penjajah, merekalah yang yang memperkenalkan kepercayaan Kristen di Minahasa/Amurang. Dan tidak mustahil tanpa kehadiran mereka Minahasa/Amurang sudah diislamkan oleh Sultan Ternate.

 Setelah Portugis dan Spanyol meninggalkan Amurang, jemaat Kristen menjadi terlantar dan tidak terpelihara. Banyak yang kemudian kembali pada kepercayaan mereka terdahulu yaitu kepercayaan suku. Perkembangan baik baru dialami jemaat setelah Verenigde Oost Indische Company (VOC) dan Nederlands Zendeling Genootschap (NZG)  hadir di Amurang.

Pada tanggal 1 Januari 1837 NZG mengutus Zendeling Karl Tragot Herman di Amurang dan menyampaikan khotbah perdananya. Herman kemudian menetap di Amurang dengan istrinya dan seorang anaknya. Ketika tiba di Amurang dia menemukan 700 orang Kristen yang sudah di Baptis tapi tidak terpelihara kerohaniannya. Wilayah pelayanan Karl Tragot Herman melingkupi 100 desa disekitar Amurang dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa. Desa Ritey adalah salah satu desa diantaranya. Pada tanggal 17 Juli 1836 Herman mulai mendirikan sekolah.

Kedatangan Karl Tragot Herman membawa nuansa baru lewat pekabaran-injilnya yang intensif di Amurang. Ia sangat rapih dan teguh dalam bekerja serta disiplin hingga dijuluki sebagai “orang yang selalu rindu pada pekerjaan”. Ia giat mengajar dan berkhotbah. Pada tanggal 27 September 1851. Karl Tragot Herman meninggal dan dikuburkan di Amurang tepatnya di desa Ranoyapo.

 

C.             Di Ritey

Pada masa Portugis dan Spanyol tidak ditemukannya data/bukti kalau   kekristenan sudah sampai di Ritey. Data tertua yang ada yaitu di zaman Karl Tragot Herman tahun 1836-1851. Di masa itu Ritey termasuk di antara 100 desa yang menjadi wilayah pekabaran injil Karl Tragot Herman.

Pada tahun 1849, dua tahun sebelum Karl Tragot Herman meninggal, Nederlands Zendeling Genootschap (NZG)  mengutus Ds S. Ulfers ke Minahasa dan mendirikan jemaat di Ranoyapo tepatnya di desa Kumelembuay. Seluruh klasis Amurang yang kala itu disebut Klasis Rumoong-Tombasian menjadi tanggung-jawabnya. Dengan menunggang kuda ia melakukan lawatan-lawatan ke seluruh wilayah Klasis Amurang termasuk ke desa Ritey. Hanya kapan pastinya kunjungan itu sudah tidak diketahui lagi. Pada masa Ds. Ulfers inilah diketahui bahwa di desa Ritey  sudah ada pembangunan gereja (gereja pertama ) yang dibangun pada tahun 1835. Sebelum berdirinya gedung gereja ini persekutuan jemaat dilaksanakan di rumah-rumah penduduk. Pembangunan gereja pertama ini dilaksanakan pada masa pemerintahan Nikolas N. Lintang.

Pada tahun 1850, satu tahun setelah pengutusan Ds. S. Ulfers, diutuslah Ds. Nicolas Graafland yang ditempatkan di Sonder. Dari catatan-catatan pribadi yang ditulisnya di atas geladak kapal yang tengah mengarungi Samudera Atlantik dalam perjalanan pulang ke negeri Belanda diperoleh data bahwa Ds. Nicolas Graafland pernah beberapa kali menginjakkan kaki di desa Ritey.  Dalam tulisannya ia menyebutkan bahwa :“ Di negeri Koreng, Maliku, Ritey dikatakan : negeri kecil dan seluruh daerah ini memberi kepuasan kepada zendeling-guru di Amurang itu mengenai kehidupan Kristen yang menampakkan diri di sini. Di bagian luar anda dapat melihatnya dalam didirikannya gedung gerjea yang kecil, orang yang ramah serta akrab, serta negeri yang dibangun dengan rapi.” (Graafland, N. 1987: 292). Perjalanan Ds. Nicolas Graafland ini dilaksanakan sekitar tahun 1864. Ini menunjukkan bahwa jemaat Kristen sudah ada jauh sebelum tahun 1864 dengan sudah adanya sebuah gereja kecil seperti Ulfers, Graafland melaksanakan pelayanan sakramen Baptisan dan pernikahan di desa Ritey.

Pada tanggal 16 Januari 1851 S. Van Der Velde Cappelan bertugas di Amurang menggantikan Karl Tragot Herman. Ia melayani sampai ke daerah-daerah pegunungan di sekitar Amurang termasuk juga desa Ritey. Pada tahun 1857 seorang prIbumi yaitu Ds. L. Mangindaan berhasil menamatkan pendidikannya di negeri Belanda dan pulang ke Minahasa. Ia kemudian diteguhkan sebagai Predicant di Manado. Dalam perjalanan dinasnya, Ds. L. Mangindaan beberapa kali menginjakkan kakinya di desa Ritey.

Pada tahun 1861 Ds. Van De Liefde dan Ds. J.A.T. Schwarch ditempatkan di klasis Amurang dan mereka juga pernah mengunjungi desa Ritey dan melayani jemaat Ritey.

Pada tahun 1885, Ds. Wiersman dan Ds. Schwarh bersama tokoh-tokoh NZG lainnya secara bersamaan berkumpul di desa Ritey dalam acara Pertemuan Raya Antar Klasis se Minahasa ( ada dugaan sementara pada acara inilah Jemaat Ritey diberi hadiah sebuah lonceng gereja yang dikirim langsung oleh NZG dari Belanda melalui Tim Perumus pasca pertemuan raya itu ).

Pada tahun 1889 Pdt. E.W.G Graafland yang adalah putra Ds. Nicolas Graafland melaksanakan tugas pekabaran-injilnya. Ia ditugaskan NZG di Rumoong (Atas) dan Amurang. Untuk menuju Amurang, jalur jalan Tumaluntung, Kaneyan, Ritey adalah jalan alternatif yang sering dilalui oleh Graafland muda ini. Hasil wawancara dengan tua-tua desa yang masih hidup sampai tulisan ini dIbuat (a.l. Bapak Wem Tenges) mengatakan bahwa Ds. Nicolas Graafland muda melayani di Ritey dengan menunggang kuda bersama penolong-penolong yang lain termasuk isterinya Clara De Vries. Clara De Vries membantu pekabaran injil suaminya dengan mengajarkan ketrampilan masak-memasak, jahit menjahit, dan keterampilan rumah tangga lainnya. Di masa itu jemaat Ritey dipimpin oleh Jesaya Tambayong. Bukti-bukti dari pelayanan Graafland muda antara lain membaptis : 1) Membaptis Bpk. Piet Lonteng ( anak dan cucunya masih hidup dan menetap di Manado), 2) Membaptis Ibu Ending Lintang tahun 1896 ( Ibunda Bpk. Wem Tenges). Keduanya diangkat sebagai anak Baptis (anak sarani) oleh Graafland muda ini kemudian bukti otentik Graflan Mudah yang ada sekarang adalah surat baptis a.n. Nehemia Mirah pada tanggal 16 Juni 1901.

Dalam perjalanan tugasnya sampai tahun 1914, pendeta Graafland muda dibantu oleh Pdt. H.J. Ten Kate. Setelah Pdt. Graafland meninggal. Selanjutnya secara berturut-turut yang melayani resort Amurang adalah Pdt. B. Moendoeng tahun 1927-1930 dan Pdt. H.G. Tiel tahun 1930-1942.

 

D.            Pembangunan Tempat Ibadah Sebelum Tahun 1936

Gereja pertama dibangun pada tahun 1835 berbentuk 6 (enam) sudut. Gereja kedua dibangun tahun 1919 semi permanent lantai beton atap seng dan di depan gereja dibangun tugu yang tingginya kira-kira 3 meter dan terdapat ornamen-ornamen pada tugu tersebut. Gereja ini dibangun pada masa Guru Jemaat/Kepala Sekolah Bapak Tuwo.

Pada tahun 1935 disepakati untuk membangun gereja di lokasi yang sama, yang kemudian dibangun gereja darurat  (gereja fals) yang bertempat di halaman Nikolas Lonteng (kostor pada waktu itu) gereja ini dipakai selama 1 (satu) tahun.

Pada pertengahan (masa lIbur dan panen) tahun 1936 gereja baru ditahbiskan oleh Pdt. Thiel dan dihadiri oleh pejabat Pemerintah dan para undangan. Sebelum peresmian dibentuk panitia antara lain Sersan H. Mirah, Esra Lintang dan Frans Tenges. Setelah ditahbiskan dibuat acara rama tama di gereja fals. 

Gereja yang Ditahbiskan oleh Pdt. Thiel pada Tahun 1936

 

 Bagian dalam Gereja yang Ditahbiskan oleh Pdt. Thiel pada Tahun 1936


BAB IV

PENDIDIKAN DAN KESEHATAN SEBAGAI WAHANA PENGINJILAN

 

Sektor pendidikan dan kesehatan sebagai wahana untuk mempercepat proses penginjilan di Minahasa umumnya dan khususnya di jemaat Ritey.

Pada penginjil yang masuk di tanah Minahasa berpendapat bahwa untuk dapat menanamkan pemahaman Injil dengan benar, maka syarat utama yang harus dicapai adalah penduduk Minahasa harus terdidik dan sehat jasmani. Oleh karena itu dibangunlah pusat pelayanan kesehatan seperti  rumah sakit Bethesda Tomohon, Rumah sakit Pancaran Kasih Manado, Rumah sakit Kalooran Amurang demikian juga di Langowan, sonder, Airmadidi dan Tondano.

Di bidang pendidikan, sesudah GMIM mulai menata/mengatur dirinya sendiri dengan baik, GMIM mendirikan sekolah-sekolah. Sesuai keputusan Malino bahwa Sekolah Teologi untuk kawasan Indonesia Timur dipusatkan di Ujung Pandang. Selain sekolah Teologi didirikan pula PGAK/P (Pendidikan Guru Agama Kristen Protestan) di Tomohon tahun 1962. Kemudian dIbuka lagi di Airmadidi, dan di Amurang pada tahun 1980. Lulusan PGAK/P ini ditugaskan mengajar Agama Kristen di sekolah dasar, SLTP bahkan mengajarkan katekisasi, berkhotbah bahkan memimpin Ibadah.

Selain itu pula melalui yayasan persekolahan GMIM, mendirikan sekolah-sekolah umum seperti TK, SD, SMP, SMA dan sekolah kejuruan lainnya seperti STM, SMK dll. Khusus di jemaat GMIM Ritey bersama dengan penyebaran Agama Kristen, telah didirikan suatu sekolah yang disebut sekolah NZG (kelas satu) tahun 1835. sekolah ini mula-mula masih terdiri dari tiga kelas. Kemudian pada tahun 1946, atas inisiatif dari seorang guru bernama Nehemia Mirah, sekolah ini menjadi 4 kelas. Akhirnya tahun 1951 atas prakarsa Bapak Frans Tenges sekolah ini menjadi 6 kelas. Berhubung sekolah ini didirikan pada waktu tertib administrasi negara belum ada, maka dasar hukum berdirinya sekolah ini belum ada pula. Para tenaga pengajar (guru) dan Kepala sekolah yang ditugaskan di sekolah ini sebelum perang dunia ke II antara lain : Bpk. Lapian, Tuwo (Tangkuney), P. Rorong ( Rumoong), Mirah, Oroh, Lumi, Jesaya Tambayong (Maliku), Tampinongkol, Egeten dan H. Mangowal. Nanti tahun 1978 sekolah ini memiliki dasar hukum yakni dengan adanya surat keputusan dari yayasan Kristen GMIM Tomohon no. 033/SD GMIM/78 tertanggal 1 Juni 1978. Jadi sejak awal sekolah didirikan yakni 1835 sampai sekarang, tetap dalam asuhan GMIM Ritey.

Selanjutnya jemaat GMIM Ritey mengasuh sekolah taman kanak-kanak sejak tahun 60-an Sampai sekarang. Bahkan ditahun 1970 jemaat GMIM Ritey pernah mengasuh sekolah lanjutan tingkat pertama/SMP Kr. Ritey, namun sangat disayangkan sekolah ini tidak dapat dipertahankan. Akibatnya tahun 1982 pemerintah Desa Ritey memprakarsai berdirinya SMP LKMD Desa Ritey. Hukum Tua A.J. Sangkoy dan ketua LKMD J. Moroki tahun 1983 SMP LKMD beralih ke yayasan yakni menjadi SMP PGRI Ritey.

 

 


BAB V

PERKEMBANGAN JEMAAT

 

A.            Perkembangan Jemaat  Tahun 1936-1970

Pada bagian ini akan dibahas secara khusus perkembangan jemaat GMIM Ritey di periode tahun ini karena pada masa ini jemaat berkembang dengan pesat dan mulai tertata  walau harus melewati masa-masa sulit zaman Kolonial, Jepang dan Permesta.

Setelah GMIM berdiri sendiri Gubernur Jendral  BC de Jonge ditandai dengan ibadah pada 30 September 1934 dengan Beslit no 5 (staatbalt 563),  resort-resort kependetaan masa NZG berubah menjadi klasis. Jemaat  Ritey menadi bagian klasis Amurang dengan struktur pelayanan: jemaat dipimpin  oleh majelis jemaat; wilayah dipimpin oleh badan pengurus klasis.

Selanjutnya sebagaimana aturan tata gereja tahun  l934  maka jemaat diberi kesempatan mengatur rumah tangganya sendiri. Di samping mengatur menata jemaat pada masa ini pula jemaat diperhadapkan dengan pergumulan antara lain;  masa pendudukan Jepang (Perang Dunia II). Masa sulit ini mengakibatkan jemaat berangsur-angsur lari kehutan sehingga ada yang sakit bahkan meninggal di kebun dan hutan. Kendatipun demikian terdapat juga jemaat yang ”bergerilya”  yang memiliki keterampilan perang hasil didikan tentara Belanda.

Dapat dikemukakan di sini bahwa zaman pendudukan Jepang jalur Ritey Kaneyan merupakan “basis kekuatan gerilya”. Para saksi hidup menceritakan kira-kira 40 tentara Angkatan Laut Jepang  dengan beberapa kendaraan lengkap dengan senjata “memburu” para gerilya melintasi kampung ini. Setelah berada di Kaneyan terjadilah kontak senjata yang tidak seimbang dengan para gerilya yang  adalah warga jemaat Ritey yaitu: Eli Moroki, E. Tuuk dan H. Tambaani pada tahun 1947. Setelah konfrontasi tersebut tentara Jepang pulang melintasi jemaat Ritey  walau tinggal beberapa orang saja sambil memaksa para anak-anak kampung untuk menunjuk tempat persembunyian para gerily demikian  tutur para saksi.

Kemudian kesulitan muncul lagi dengan adanya serangan sekutu di Minahasa. Pada zaman ini gaji para penginjil dan Pendeta tidak dibayar oleh Pemerintah. Walaupun demikian, hasil penginjilan NZG menghasilkan seorang putra jemaat (ketua Jemaat) Nehemia Mirah diberikan hak Ezrar oleh Sinode untuk melaksanakan Peneguhan Sidi dan Perjamuan Kudus dengan nomor TBS4/6/4 tanggal 19 Oktober 1948. Setelah PD II Jemaat pun ikut mengalami situasi pengaruh revolusi kemerdekaan.

Tahun 1950 diumumkan oleh Pemerintah RI pemisahan keuangan Negara dan Gereja. Oleh karena itu warga jemaat yang potensial hasil binaan NZG dengan spontanitas mengaktifkan diri dalam pelayanan ibadah termasuk dunia Pendidikan.

Pada masa-masa sulit  ini Amurang dan sekitarnya termasuk Jemaat Ritey dilayani oleh M. Sondakh, A. Rampen, Pdt Mowilos, Pdt Goni.

Pada tahun 1957 terjadilah pergolakan Permesta.  Perang saudara ini membutuhkan pelayanan jemaat secara intensif. Walaupun sementara dalam persembunyian,  Gereja GMIM Bait’El Ritey tetap dijadikan satu-satunya tempat peribadatan pada setiap hari minggu, di samping beribadah di kebun.

Sesudah pergolakan Permesta tahun 1961 Jemaat GMIM diperhadapkan dengan maraknya kegiatan partai-partai politik.  Untuk menghindarkan Jemaat supaya jangan terkotak-kotak maka Sidang SINODE memutuskan kepada warga jemaat agar supaya menolak paham Komunisme.

 

B.     Perkembangan Jemaat Tahun 1970-2004

1.      Penempatan Tenaga Gereja

Pada bulan November tahun 1982 ditempatkan Guru Agama Debby Rori di Jemaat Ritey dan pada bulan Oktober tahun 1994 mutasi ke jemaat GMIM Getsemani Senduk yang kemudian digantikan oleh Guru Agama Adel Kakalang dari Jemaat Teling Wilayah Tanawangko sejak tanggal 19 Juni 1994 sampai tahun 1996 setelah itu mendapat rekomendasi studi lanjut di Fakultas Theologi UKIT Tomohon. Kemudian pada tanggal 01 Juli 1997 menerima Vikaris Guru Agama Junaedy R. Sangkoy sampai tahun 1999, dan tanggal 13 Oktober 1999 terpilih sebagai Ketua Komisi Pelayanan Anak. Tanggal 16 November 1998 Welny Momongan diterima oleh jemaat sebagai Vikaris Guru Agama dan tanggal 29 Oktober 1999 diteguhkan sebagai Guru Agama sampai tahun 2006 kemudian tanggal 18 November 2006 berhenti sebagai Guru Agama karena telah beralih status sebagai CPNS. Pada tanggal 14 November 1993 jemaat menerima Vik. Pendeta Mourits M.L. Rumengan, S.Th dan melaksanakan masa vikariatnya selama 1 tahun. Pada tanggal 27 November 1994 diteguhkan sebagai Pendeta Pelayanan oleh Pendeta Ny. L. F. Tamuntuan – Makisanti mewakili Badan Pekerja Sinode GMIM. Pada tahun 1995  Pdt. Mourits M.L. Rumengan, S.Th dipilih oleh Sidang Majelis Jemaat sebagai ketua BPMJ GMIM Ritey Periode 1995–2000.  Pdt. Mourits M.L. Rumengan, S.Th menikah dengan Pdt. Indrawati Sukardi, S.Th yang kemudian menjadi Pendeta Pelayan di Jemaat Ritey. Pada Agustus 2001 Pdt. Mourits M.L. Rumengan, S.Th dipindahtugaskan oleh Badan Pekerja Sinode ke Jemaat GMIM Suluan Wilayah Tomohon dan digantikan oleh Pdt. Gammy R.B. Porong, S.Th dan Pdt. Winda  Porong – Weol, S.Th dari Jemaat Atep Wilayah Langowan I. Serah terima dilaksanakan pada Ibadah Minggu tanggal 29 Juli 2001 dan dilangsungkan dengan acara pisah sambut kemudian rama tama di halaman Pastori. Sebelum ditempatkannya pendeta di jemaat Ritey pada waktu itu ibadah sakramen dilaksanakan oleh pendeta yang ada ditingkat wilayah Tumpaan seperti : Pdt. Lengkey, Pdt. Sondakh, Pdt. Suoth, Pdt. Rumbayan, Pdt. Mukuan, Pdt. Runtukahu dan beberapa pendeta GMIM lainnya.

 

2.        Persekutuan

Ibadah-ibadah dilaksanakan secara kontinuitas di kolom-kolom (ibadah KKR) dan Kategorial yaitu ibadah Kategorial BIPRA, dan ibadah-ibadah lain yang dIbutuhkan sesuai permintaan jemaat. Ibadah-ibadah ini dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan dan   atas permintaan anggota jemaat. Juga dilaksanakan Ibadah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) dengan mendatangkan  pembicara Tingkat Sinode dan Penyanyi Rohani Tingkat Nasional diantaranya Ev Jouke Frits pada bulan juni 2003.

Sebagai respon atas meningkatnya jumlah Jemaat, dilaksanakan pula Ibadah-ibadah Sakramen seperti: Baptisan Kudus, dan Perjamuan Kudus.  Ibadah Pemberkatan Nikah dilaksanakan sesuai kebutuhan.     

3.        Diakonia dan Pendidikan

Diakonia adalah salah satu bentuk pelayanan gereja yang harus dilaksanakan seperti amanat Tuhan Yesus. Diakonia juga adalah salah satu wujud perhatian  Gereja terhadap warga Jemaat. Jemaat GMIM Bait’El Ritey pun melaksanakan amanat gereja dengan diakonia seperti, kedukaan, kesehatan, orang cacat, janda-duda, kecelakaan yang  dananya bersumber/diperoleh dari perbendaharaan jemaat dan donatur.

Di Bidang Pendidikan juga dilaksanakan Peduli Pendidikan antara lain :

§   Sidang Majelis jemaat bulan Maret 1993 menetapkan Beasiswa bagi seorang Mahasiswa Teologi UKIT a.n. Steven Lintang untuk biaya  selama 5 (lima) tahun.

§   Secara bertahap sejak tahun 1997 mengangkat 5 tenaga Guru SD dan TK GMIM Ritey sampai sekarang yang dananya diambil dari Pos Pendidikan Jemaat, mereka adalah:

1.      Greace Tumurang

2.      Ibu Netty Tombokan Tumurang kemudian diganti oleh Marie Tumilaar Moroki

3.      Bpk. Wem Tombokan diganti Bpk. Evert Tombokan kemudian diganti oleh Ibu. Luske Tutu-Lonteng

4.      Ibu Marie Assa Lonteng guru  TK.

5.      Bpk. Zeth Pandegiroth guru honorer

§   Pada tahun 2000 Memberikan beasiswa  pada murid SD Kelas VI.

§   Tahun 2003-2004 memberikan beasiswa kepada seorang siswa berprestasi yang kurang mampu di SMP PGRI Ritey atas nama  Cristofel Lonteng,

Selain peduli pendidikan, pada tahun 1986 jemaat membeli sebidang tanah (samping SD GMIM) kemudian didirikan gedung Taman Kanak-kanak semi permanen yang dikerjakan secara swadaya oleh jemaat kemudian diresmikan oleh camat Tombasian Drs. H. REMBET yang  diawali dengan ibadah .

Sektor pendidikan non formal dipandang sebagai penunjang sumber daya jemaat. Dengan demikian Gereja mengikutsertakan warga jemaat dalam setiap kursus-kursus dan pelatihan seperti : LKPG, LTPR, PDGSM, Kursus Wanita Gereja yang dilaksanakan oleh Sinode, bahkan  jemaat GMIM Ritey pula tercatat 2 (dua) kali melaksanakan kegiatan LKPG tingkat jemaat tahun 1984. Kemudian tahun 2003 atas prakarsa “Pemuda Bait’El” menyelenggarakan kegiatan Latihan Kepemimpinan dan Kewirausahaan  yang diikuti oleh 100 (seratus) peserta dari pelosok Minahasa. Para nara sumber didatangkan dari Sinode dan Pejabat Pemerintah. Selain itu jemaat juga melaksanakan Pelatihan pembuatan Pupuk Bokasi serta kegiatan Seminar yang dilaksanakan oleh Komisi Remaja tahun 2003.

 

4.      Sarana dan Prasarana

a.      Pembangunan Gereja dan Pastori

Setelah melihat sarana peribadatan tidak memadai lagi, maka pada tahun 1974 dilaksanakan pergantian atap seng Gereja kemudian pada periode berikutnya dilaksanakan perluasan tangga Gereja dan pembuatan pagar beton melingkari halaman Gereja.  Usaha perbaikan gedung Gereja direspon oleh Remaja dan Pemuda dengan melaksanakan pengecatan gedung Gereja pada tahun 1987.  Memasuki periode 1990 – 1994 muncul wacana pembangunan Gereja maka pada awal periode sidang Majelis Jemaat Desember 1990 memutuskan melaksanakan rehabilitasi dan perluasan ke belakang bangunan Gereja melalui komisi Pembangunan.  Keputusan ini direalisasikan dengan dilaksanakannya perletakan batu pertama pada tanggal 26 Januari 1991 (acara kuncikan) oleh Badan Pekerja Sinode. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan itu, berkembang gagasan baru untuk membangun Gereja Baru di atas lahan berdirinya Gereja Lama. Ini berarti gereja lama akan dibongkar. Maka dibentuk pula seksi usaha dana dan dibuatlah gambar Gereja Baru yang dirancang oleh Ir. Bpk. Frangky Tombokan.  Pada masa ini jemaat serta merta mengaktifkan diri dalam pekerjan pembangunan yang realisasinya sampai tiang-tiang beton telah berdiri disamping Gereja tua.

Dalam konteks kegiatan pembangunan Gereja, ketika itu muncul lagi beberapa usul/pendapat, bahwa Gereja Baru harus dibangun di lokasi baru  dan melestarikan Gereja tua. Di masa inilah yakni dalam rentang tahun 1991 sampai 2001 Jemaat diperhadapkan dengan situsi yang serba sulit di mana jemaat berdiri di atas dua pandangan yang berbeda yaitu membongkar gereja lama atau mempertahankannya. Namun  peristiwa itu telah diaminkan bersama  sebagai ujian “Sang Kepala Gereja” bagi jemaat GMIM Ritey.  Tahun 1994 tanah/kebun milik Gereja yang berbukit (belakang Gereja tua) dalam waktu 100 (seratus) jam menjadi rata, digusur dengan  Weel Loader sumbangan dari Bapak Welly Tenges yang berdomisili di Jakarta. Kemudian lokasi tersebut ditetapkan oleh Sidang Majelis jemaat tanggal  08 dan 12 Februari 2001 menyetujui gambar baru yang dIbuat oleh Ir R. Sukardi dan ditindaklanjuti   dengan membentuk panitia pelaksana. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan itu kemudian ditemukan ketidaksesuaian antara keputusan Sidang Majelis Jemaat dan pelaksanaan pembangunan. Maka pada tanggal 04 Desember 2001 dilaksanakan rapat khusus di Konsistori yang dihadiri oleh 16 (enam belas) orang Pelsus dan panitia pembangunan. Dalam rapat itu disepakati dilaksanakannya pembangunan gedung Gereja terpadu antara bagian depan dan belakang (gambar Ir. Frangky Tombokan dan Ir. R. Sukardi) selanjutnya disepakati pula gambar Gereja terpadu tersebut digambar oleh Bapak Yudy Lonteng dan Bapak Hector Lonteng.  Hasil kesepakatan ini membawa suasana baru bagi seluruh warga Jemaat  dan dalam usaha pembangunan, Jemaat berloma-lomba mengumpul dana untuk pembangunan Gereja.  Pada sidang Majelis bulan November 2004 dilaporkan oleh panitia bahwa realisasi pekerjaan mencapai 125M3 (beton bertulang) siap pasang atap dengan jumlah dana Rp 300.000.000, dalam jangka waktu dua tahun. 

Pada tanggal 11 April 1997 disepakati untuk membangun Pastori yang sifatnya darurat dan dilanjutkan dengan pembentukan panitia tanggal 02 Juni 1997 kemudian dilaksanakan perletakan batu pertama dan ditabiskan pada hari Minggu tanggal 30 November 1997 oleh Pdt. A.F. Parengkuan (BPS Sinode GMIM).  Pada bulan Desember 2001 dikerjakan pengaspalan jalan menuju Pastori sepanjang 100 meter atas prakarsa Jemaat. 

 

b.      Prasarana Penunjang Ibadah Lainnya

Pada masa periode 1990-1994 di tahun 1993 Komisi Remaja Pemuda melaksanakan usaha pengadaan bangku Gereja dari kayu wasian yang berjumlah 52 buah melalui kelompok kerja yang diketuai oleh Drs. Lendy J. Sangkoy. Sumber kayu berasal dari perkebunan Malulu lewat izin dari Dinas Kehutanan Minahasa. Kemudian periode 1995-1999 pada tahun 1997 Komisi Pemuda dibawa kepemimpinan Pnt. Drs. Joudy Sangkoy kembali melaksanakan kegiatan pengadaan air bersih untuk Pastori melalui penggalian sumur dengan ketua Tim Kerja Yudy Lonteng. Tahun 1999 Jemaat telah memperoleh satu unit alat musik organ yang disumbangkan oleh Kel. Roby Sangkoy-Lonteng yang dipakai dalam setiap ibadah. Periode 2000-2004 kembali tim kerja Remaja Pemuda melaksanakan usaha pengadaan seperangkat sound system.

Usaha-usaha pengadaan sarana penunjang ibadah terus diadakan dari tahun ke tahun seperti lemari, perlengkapan perjamuan kudus bahkan untuk melaksanakan administrasi yang teratur maka dengan berani jemaat membeli seperangkat komputer dan dIbuat ruangan komputer pada bulan Desember 2004.    

 

5.      Rapat-rapat Konsultasi dan Rekomendasi

Setelah jemaat Ritey masuk dalam wilayah Tumpaan dari tahun-ketahun dilaksanakan rapat koordinasi pelayanan secara bergiliran setiap jemaat. Kemudian tahun ke tahun pula mengikuti sidang-sidang di tingkat Sinode baik perutusan jemaat maupun konsultasi-konsultasi Kategorial tingkat Sinode. Dapat dikemukakan kembali bahwa peristiwa 100 tahun lalu (pertemuan antar klasis 1885) terulang kembali yaitu; Jemaat Ritey menjadi tuan rumah konsultasi pemuda se GMIM  (Komisi D Bidang Program) ketika konsultasi ini dilaksanakan di Tumpaan. Dengan demikian program pemuda tingkat Sinode  digodok dan dirumuskan di gedung gereja GMIM “Bait’El” Ritey pada tahun 2003.

Untuk menelusuri Sejarah berdirinya Jemaat, maka Sidang Majelis Jemaat membentuk Panitia Penyusunan Sejarah Jemaat yang kemudian melaksanakan Seminar penyusunan sejarah Jemaat pada tanggal 14 Agustus 2004 yang dihadiri oleh 70 peserta dari Jemaat dan Jemaat tetangga dengan nara sumber sbb. :

1.      Pdt D.M Lintong, S.Th (Teolog/Sejarawan )

2.      Drs. Joudy Sangkoy (mewakili Panitia)

3.      Ev Kristo M. Mirah   (Evanglis, Budayawan)

4.      Jan M. A. Lontng, S.Pd. (Dinas Pendidikan Nasional)

Hasil seminar merumuskan tanggal 16 Juni 1835 ditetapkan sebagai hari berdirinya Jemaat GMIM Ritey dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai mana dicantumkan pada bagian sebelumnya. Sidang Majelis tanggal 31 Agustus 2004 memantapkan dan menetapkan tanggal. Bulan, tahun tersebut di atas yang direkomendasikan Panitia Seminar sebagai HUT Jemaat dan menetapan nama jemaat adalah “BAIT’EL”, yang dalam bahasa Ibrani (Bahasa asli Peranjian Lama) berarti “Rumah Allah”. Bukti otentik terdapat pada tulisan di atas pintu depan gereja yang ditahbiskan oleh Pdt. Thiel tahun 1936.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


6.      Minat dan Bakat

Dalam mengembangkan potensi warga jemaat sejak 1970 Jemaat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan Kesenian dan Olah raga baik tingkat Wilayah maupun tingkat Sinode sebagai wujud kesaksian Gereja.  Pada tahun 1995-2004 frekwensi penyelenggaraan kegiatan olah raga dan kesenian mengalami peningkatan di dalam Jemaat yang diprakarsai oleh Pemuda dan Remaja maupun Jemaat.   

Pada bagian akhir tulisan ini dapat dikemukakan lagi menjelang dan pasca reformasi dan otonomisasi, dijemaat ini pula sering mengundang dan dikunjungi para Pejabat Negara, Birokrat dan para Politisi sekaligus memberikan “kesaksian” dan  “sedekah” untuk pmbangunan Bait’El.  Apalagi Desa Ritey berada di Ibu kota Kabupaten Minahasa Selatan. 

7.      Hubungan dengan pemerintah dan antar golongan

Dengan masuknya Gereja  Advent Hari Ke Tujuh 1936 dan Pantekosta di Indonesia 1950 dan menyusul Gereja Segala Bangsa tahun 1977 yang masing-masing dipimpin oleh Gerat Mamengko, Sangkoy-Lepa dan Gembala Tampi dari Tumpaan maka dikembangkan hubungan saling menghargai dan saling menerima antar golongan agama. Tampak terlihat disetiap kegiatan Ibadah Pemakaman (kedukaan) pada Hari-hari raya Gereja Saling mengundang untuk ibadah bersama dan kegiatan ini berlangsung hingga sekarang.   

Untuk memfasilitasi hubungan antar Gereja, maka tahun 1980 dibentuklah Badan Kerja Sama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang pimpinannya diambil dari semua Gereja yang ada di kampung Ritey.  Tahun 2003 BKSAUA dirubah menjadi BKSAG (Badan Kerja Sama Antar Gereja).

Dalam hubungannya dengan pemerintahan, jemaat Bait’El Ritey memiliki peran yang sangat strategis (KK terbanyak) oleh karena itu sejak kampung ini berdiri sampai sekarang GMIM Bait’El Ritey terus menjadi mitra pemerintah desa baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pembangunan fisik maupun mental spiritual masyarakat desa tercinta. 

 

Majelis Jemaat Periode 2000 - 2004

 

 

C.             RUANG LINGKUP PELAYANAN JEMAAT 2005 – 2019

1.      STRUKTUR KELEMBAGAAN

Sebagai gereja yang bersinode terus mengikuti dengan Tata Gereja GMIM tahun 2009 yang diadendum tahun 2012. Secara berturut-turut ditempatkan tenaga Pelayanan sebagai berikut:

a.       Ketua Badan Badan Pekerja Majelis Jemaat

1)     Pdt. Bpk. Gammy R.B. Porong, S.Th digantikan oleh Pdt. Foneke S. Kojoh, S.Th (Ibu Tambuwun) 18 Agustus 2008.

2)     Pdt. Foneke S. Kojoh, S.Th (Ibu Tambuwun) digantikan oleh Pdt. Bpk. Ventje S. Mait, S.Th tanggal 13 Oktober 2013

3)     Pdt. Bpk. Ventje S. Mait, S.Th digantikan oleh Pdt. Bpk. Djemi A. Solang, M.Th bulan September 2014

4)     Pdt. Bpk. Djemi A. Solang, M.Th digantikan oleh Pdt. Martha Rondonuwu, M.Th (Ibu  Rumondor) tanggal 10 Februari 2019

Masing-masing penempatan dan mutasi melalui SK Sinode

b.      Pendeta Jemaat

1)     Pdt. Winda Weol, S.Th (Ibu Porong)

2)     Pdt. Nova Komenaung, S.Th (Ibu Lempoy) 30 Januari 2011 sampai dengan 25 Oktober 2015

3)     Pdt. Bpk. Reonald M. Robot, S.Th 25 Oktober 2015 sampai dengan 09 Juni 2019

4)     Vikaris  Pendeta Frinestia O.B. Sepang, S.Th (Ibu Robot) diteguhkan sebagai pendeta pada 18 Maret 2018.

5)     Sebelumnya tahun 2008 jemaat pernah menerima Vikaris Pendeta Marsela Sangkoy, S.Th kemudian beralih status sebagai ASN

c.       Guru Agama

1)     GA. Maartje Josephus (Ibu Tambuwun) 28 Januari 2008 sampai dengan 16 Juni 2018

2)     GA. Felty Binanggal, S.PdK (Ibu Mailakay) 30 Juni 2018 sampai sekarang

d.      Pegawai Jemaat

Dalam rangka menjawab kebutuhan jemaat khusus bidang data dan administrasi maka tahun 2013 diangkat Pegawai Jemaat Pmd. Roli O. Tutu dan masih bertugas sampai sekarang.

 

2.      PERSEKUTUAN

Pelayanan gereja dilaksanakan secara teratur melalui program dan anggaran setiap tahun yang ditetapkan lewat Sidang Majelis Jemaat seperti ibadah jemaat, ibadah kolom, ibadah BIPRA dan ibadah syukur lainnya termasuk ibadah-ibadah sakramen. Tahun 2005-2009 Jemaat terdiri dari 10 kolom. Tahun 2010-2013 menjadi 11 kolom kemudian 2014-2019 (sekarang) 14 kolom.

Ibadah Pengucapan syukur tahun 2017 diliput oleh TV Nasional (TVRI) yang ditayangkan tanggal 21 Juli 2017.

 

3.      SARANA DAN PRASARANA

a.       Pembangunan Gereja

Pembangunan gereja yang digunakan sekarang ditahbiskan oleh Pdt. Dr. H.W.B Sumakul tanggal, 16 Juni 2013 pada Hari Ulang Tahun Jemaat ke-178. Pada pentahbisan tersebut dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Utara diwakilkan oleh Bpk. Harold Monare, S.H, dan Bupati Minahasa Selatan diwakili oleh Drs. Bpk. James Tombokan. Laporan panitia pada acara peresmian gedung gereja, (bangunan gereja menelan biaya Rp. 1.000.000.000 diluar swadaya jemaat).

b.      Pastori I dan Konsistori

Dibangun struktur bangunan 2 lantai dengan anggaran kurang lebih Rp. 700.000.000. Bangunan Pastori dan Konsistori ini ditahbiskan tanggal 31 Januari 2016 oleh Pdt. Bpk. Hendry C.M. Runtuwene, S.Th, M.Si.

c.       Pengadaan lahan dan pembangunan pastori II

Lokasi di Kampung Lama wilayah pelayanan kolom 2 dan ditempati oleh Pdt. Bpk. Reonald M. Robot, S.Th bersama keluarga. Pastori ini mulai ditempati pada tahun 2016.

d.      Pagar keliling gereja

Ditahbiskan tanggal 03 Desember 2017 oleh Pdt. Ibu Magritha C. Dalos, M.Th bersamaan dengan Peneguhan Pelayan Khusus Periode 2018-2021. Pembangunan ini menelan biaya kurang lebih Rp. 750.000.000.

e.       Pastori III

Rumah Dinas Guru (RDG) beralih fungsi menjadi Pastori III bertempat di samping SD GMIM Ritey. Pertama ditempati oleh Pdt. Nova Komenaung, S.Th (Ibu Lempoy) bersama keluarga.

f.        Pengadaan lahan untuk pembangunan perpustakaan SD GMIM tahun 2010

g.       Sarana dan prasarana persekutuan lainnya terus disiapkan oleh jemaat seperti sound sistem, komputer (laptop), dll.

 

4.      PENDIDIKAN

Bidang ini menjadi perhatian serius dalam program jemaat baik pendidikan formal maupun non formal.

a.       Pendidikan Formal

-          Beasiswa Perguruan Tinggi

Setiap tahun memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang akan ujian akhir. Anggota jemaat yang mengikuti pendidikan D3, S1 dan S2 reguler mendapat subsidi dari kas jemaat.

-         Tenaga Guru

Tenaga guru SD yaitu Bpk. Maikel Assa, S.Pd, Ibu Netty Tutu dan Olvie Sumanti, S.Pd (Ibu Weken).

Tenaga Guru TK yaitu Yeitje Laala (Ibu Lintang).

b.      Pendidikan Non Formal

Warga jemaat juga diikutsertakan dalam pendidikan tingkat Sinodal seperti:

Ø  LK3G diikuti oleh PKB dan WKI

Ø  LTPR dasar, LTPR Lanjutan dan TOT diikuti oleh Pembina remaja dan yang akan menjadi pembina remaja serta LKRG untuk remaja.

Ø  LKPG dan LKP3G diikuti oleh Pemuda

Ø  Penataran Dasar Guru Sekolah Minggu

Selain keikutsertaan jemaat pada tingkat Sinodal, jemaat GMIM “Bait’El Ritey juga mengadakan kegiatan pelatihan seperti Pelatihan Manajemen Organisasi Kristiani GMIM tanggal 24 Februari 2018.

 

5.      MINAT DAN BAKAT

Memaknai hari-hari raya gereja diadakan kegiatan-kegiatan lomba olahraga dan kesenian berupa Paduan Suara antar kolom, Sepak Bola Mini, Sepak Takraw, Lomba Lampion, lomba-lomba tradisional, lomba kebersihan, CCA.

Selain melaksanakan kegiatan di jemaat, juga mengikuti kegiatan di aras Wilayah berupa kegiatan: Pawai Alegoris, Lomba Dayung (tahun 2012 juara 1), Paduan Suara Campuran (tahun 2012 juara 1), Paduan Suara Pelsus (tahun 2017 juara 1), Lomba Voli, tarik tambang, sepak bola, dan CCA.

BIPRA aktif dalam kegiatan Sinodal dan turnamen lainnya sebagai peserta maupun pelaksana, seperti:

-          PKB: Tingkat Sinode berupa:  CCA, Paduan Suara, Lari Karung, dan mengikuti kegiatan Internasional pada event Bali International Choir Festival (BICF) tahun 2014, dapat diceritakan di sini persiapan keberangkatan mengalami pergumulan dalam hal tiket kontingen digelapkan oleh pihak travel bahkan ketika tampil di Art Centre Bali uang tiket kembali ke Manado tidak ada. Tapi berkat kerjasama dengan pihak PU Minsel dengan perjanjian menggali dan memindahkan kurang lebih 25 kubur maka peserta paduan suara dapat pulang ke jemaat dan melanjutkan kegiatan Paduan Suara PKB tingkat Sinode di Minahasa Utara Oktober 2014. Juga pernah menjadi penyelenggara kegiatan Try Out Paduan Suara Rayon Minahasa Selatan dan undangan lainnya tahun 2015 dengan peserta kurang lebih 18 tim. Sebagai penyelenggara juga Tingkat Sinode pada ajang HUT PKB ke-54 tahun 2016 khusus Paduan Suara Middle Choir.

-          WKI: mengikuti kegiatan-kegiatan lomba baik tingkat Wilayah maupun sinodal seperti Paduan Suara, Baca Mazmur, Bintang Vokalia, Jalan Cepat, Senam Jantung Sehat, Tenteng Sosiru, dll.

-          Pemuda: Mengikuti kegiatan lomba Tingkat Sinode seperti Paduan Suara, Cerdas Cermat Alkitab, Vokal Grup serta Kegiatan Perkemahan Tingkat Sinode maupun Tingkat Rayon. Keikutsertaan pada pawai paskah kategori alegori tingkat Sinode yaitu pada tahun 2008 di Tomohon, tahun 2009 di Amurang dan 2011 d Tondano. Pada kegiatan pawai paskah, pemuda jemaat Bait’El Ritey pernah menjadi juara 1 di tingkat Sinode. Peserta pawai paskah melibatkan hampir seluruh anggota jemaat dari yang sudah tua-tua sampai anak-anak termasuk jemaat dari golongan gereja lain seperti GESBA dan Advent. Selain itu juga pemuda mengikuti pawai paskah dalam kategori kreatifitas yang hanya melibatkan anggota pemuda.

-          Remaja: Mengikuti kegiatan Tingkat Sinode yaitu Event Hari Persatuan Remaja, dimana pada event ini sejak tahun 2018 (juara 1 dan 2 lintas alam, juara 1 dan 3 CCA Seri A Madya serta juara 2 CCA Seri A Taruna) dan 2019 (juara 1 dan 2 CCA Seri A Taruna, juara 2 CCA Seri A Madya serta juara 2 CCA Pembina)  mengantar Wilayah Tumpaan sebagi juara umum. Beberapa kali mengikuti kegiatan Paskah Sinode dan menjadi juara kategori Pawai Alegori tahun 2010 (di Tondano) dan tahun 2013. Mengikuti Perkemahan Tingkat Sinode dan pernah menjadi juara umum. Aktif mengikuti kegiatan Pesta Seni Remaja dan pernah mendapat juara 3 bintang vokalia dan juara 3 baca mazmur. Aktif mengikutsertakan anggota remaja pada ajang seleksi Remaja Teladan dan tahun 2018 di Rayon Minahasa Selatan menjadi juara 1 Remaja Teladan putri dan juara 3 Remaja Teladan putra, Remaja Teladan Kategori Cinta Lingkungan Rayon Minahasa Selatan serta menjadi Remaja Teladan Cinta Lingkungan tingkat sinode. Pernah mengikuti kegiatan tingkat internasional pada event Bali International Choir Festival (BICF) tahun 2015. Dalam kegiatan BICF ini Tim Kerja Remaja juga mengalami kendala dalam hal keuangan ketika akan kembali ke jamaat, namun berkat kerjasama dengan pihak PU Minsel untuk memasang lampu jalan dari Pondang sampai Bitung maka kendala keuangan tersebut dapat teratasi. Mengikuti kegiatan undangan CCA jemaat lain maupun instansi yang bersifat open turnamen (tahun 2019 juara 1 dan 3 di jemaat Via Dolorosa, juara 3 di jemaat Paulus Titiwungen, juara 3 di IAKN. Menjadi pelaksana Try Out se-Rayon Minahasa dalam rangka Hari Persatuan Remaja untuk lomba CCA Seri A dan Seri B Selatan 19 Januari 2019.

-          ASM: Mengikuti kegiatan lomba tingkat Sinode yaitu Pawai Paskah dan menjadi juara 1 berturut-turut tahun 2018 dan tahun 2019. Mengikuti lomba paduan suara dan perkemahan anak sekolah minggu dan guru-guru sekolah Minggu.

Semua kegiatan minat bakat yang diikuti oleh jemaat di tingkat wilayah, sinode, undangan-undangan jemaat dan instansi, serta keikutsertaan di tingkat internasional hasilnya berupa mendali, piagam dan tropi tersimpan di konsistori. Karena prestasi demikian, maka Komisi BIPRA Jemaat diperhitungkan dalam komposisi Komisi Sinode dan Wilayah. Pnt. Fieke Weken, S.Pd sebagai Ketua Komisi Remaja Wilayah Tumpaan periode 2010-2013, Pnt. Cerry Lumankun, S.E (Ibu Lumankun) Ketua Komisi Remaja Wilayah Tumpaan dan anggota Komisi Remaja Sinode periode 2015-2018, Pnt. Rolin Sangkoy, S.Pd (Ibu Mamengko) Ketua Komisi WKI Wilayah periode 2018-2021. Sekretaris PKB Wilayah Pnt. Bpk. Joudy Sangkoy, M.Si Periode 2014-2017 dan Periode 2018-2021, Wakil Ketua Remaja Wilayah Pnt. Bpk. Tedy Tumurang, S.E Periode 2018-2021.

 

6.      SOSIAL BUDAYA, EKONOMI DAN KEMITRAAN

Pola hidup jemaat seperti gotong royong, saling membantu masih terlihat dalam kehidupan bersama baik dalam suka maupun duka. Kegiatan budaya yang masih dilaksanakan dilaksanakan setiap akhir tahun dan awal tahun adalah kumantar (menyanyi naik turun rumah – pada perayaan Natal dan Tahun Baru) yang diikuti oleh pemuda, remaja dan juga didukung oleh orang-orang tua yang dengan semangat mempertahankan budaya ini. Walaupun pada peristiwa kedukaan sudah jarang keterlibatan pemuda dalam kegiatan budaya seperti masamper.

Mata pencarian jemaat sebagian besar adalah petani dengan hasil seperti kopra, cengkih, vanili. Hasil-hasil  pertanian lainnya dapat dijual dengan mudah dikarenakan masih terdapat jemaat yang setia dalam usaha bakulan (tibo). Infrastruktur pertanian pada masa ini mempermudah para petani setelah dibangunnya jalan-jalan perkebunan di seluruh penjuru sehingga kendaraan roda empat dapat masuk ke area perkebunan. Sementara jemaat yang memiliki kendaraan roda sapi tinggal beberapa saja.

Pada awal tahun 2014 jemaat Bait’El Ritey ikut berpartisipasi pada peristiwa bencana alam di kota manado kira-kira 100 tenaga dengan 2 buah dump truck serta bahan diakonia lainnya.

Kerja sama pihak gereja dengan pemerintah desa terus dibangun dengan aktifnya Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat dalam  organisasi BAMAG desa Ritey.

 

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama