SEJARAH JEMAAT
GMIM BAIT'EL RITEY
Kata Pengantar
Syalom…….!
Puji Syukur
kami panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, sebab oleh
perkenan-Nya maka kami Tim Sinkronisasi Rumusan
Sejarah Jemaat dapat mensinkronkan buku sejarah Jemaat GMIM Bait’El Ritey dengan buku sejarah Desa Ritey. Perbedaannya
antara lain adalah penulisan akan berdirinya Desa Ritey awal versi sejarah
jemaat berdiri tahun 1575 sedangkan sejarah Desa Ritey tahun 1505, akan hal
tersebut sudah disinkronkan berdasarkan sejarah Desa Ritey tahun 1505. Demikian juga hal-hal lain yang berhubungan dengan peristiwa
pelayanan dan pelaku dalam pelayanan sejak tahun 2005 sampai tahun 2019 sudah di cantumkan
dalam penulisan sejarah Jemaat.
Oleh karena itu
agar peristiwa pelayanan dan pelaku dalam pelayanan dapat diingat sebaiknya
maksimal setiap 1 periode pelayanan (4 tahun) dapat
di update.
“I m a n u e l”
Ritey, Juni 2019
Salam
Kasih dari Tim Sinkronisasi Sejarah Jemaat:
1.
Pnt.
Tedy Ch. Tumurang, S.E.
2.
Drs.
Festus Lumankun, M.Pd.
3.
Pnt.
Drs. Joudy Sangkoy, M.Si.
4.
Pnt.
Vicky Sangkoy, S.Pd, M.Pd.
5.
Junaedy
Sangkoy
6.
Roli
Tutu
BAB I
PENDAHULUAN
Dengan memanjatkan puji dan syukur
ke hadirat Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus Kepala Gereja yang telah
menyertai, menuntun dan berkenan memampukan kami untuk dapat menyelesaikan
penyusunan sejarah jemaat GMIM Bait’El Ritey.
Sejarah jemaat merupakan salah satu
penuntun arah perjalanan gereja kedepan karena dengan memahami sejarah jemaat
maka kita juga akan memberikan arah bagi pelayanan Gereja dalam rangka menuntun
jemaat untuk menyadari tugas dan panggilan Gereja di dunia ini yaitu :
Bersaksi, Bersekutu dan Melayani.
Penyusunan sejarah jemaat ini adalah
juga untuk memenuhi harapan BPS GMIM tentang perlu adanya sejarah jemaat di masing-masing jemaat. Adapun dasar sejarah jemaat ini adalah
melalui koordinasi serta himpunan dari berbagai cerita dan informasi dari
berbagai tokoh, tua-tua Pemaat dan tokoh-tokoh masyarakat serta data yang
diperoleh berdasarkan arsip jemaat.
Kami menyadari bahwa penyusunan dan
penyajian sejarah jemaat ini terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan, namun
isi dari sejarah jemaat ini telah menyangkut dan mencakupi berbagai latar belakang
dan peristiwa berdasarkan fakta sejarah yang ada sehingga dapatlah memberikan
gambaran tentang keadaan dan keberadaan jemaat GMIM BAIT’EL RITEY.
Kiranya Sejarah jemaat ini akan
memberi nuansa pelayanan yang lebih cerah demi tersentuhnya semua aspek
pelayanan jemaat yang akurat, aktual,
efisien dan demi tercapainya tujuan pelayanan untuk
hormat dan kemuliaan nama Tuhan.
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN JEMAAT GMIM RITEY
A.
Asal Usul Terbentuknya Jemaat
Pada
dasarnya disadari dan dipahami bahwa, setiap orang yang ingin mempelajari
sejarah adalah wajar dan layak jika seseorang menyadari bahwa apa yang
dipelajarinya itu adalah menyangkut dengan cerita-cerita atau kisah-kisah yang
dIbuat, diciptakan dan diawasi oleh “Sang Pembuat Sejarah”, Dialah Tuhan,
Pencipta alam semesta.
Melalui
tulisan ini adalah penting bagi warga jemaat Tuhan yang ada di Desa Ritey untuk
mengetahui atau mengenal sejarah gereja dari jemaatnya sendiri. Dengan mengenal
dan memahami sejarah gereja, itu berarti atau sekaligus akan menghargai dan
menghormati jeri dan juang dari pada pendahulu, pionir-pionir (tokoh-tokoh
perintis) yang terpanggil, terutus dan dipakai Tuhan secara luar biasa.
Selanjutnya merupakan secuil/sekelumit
sejarah dan perkembangan jemaat GMIM Ritey terekam melalui informasi langsung
(para orang tua) dan informasi lainnya
berdasarkan literatur (artikel/tulisan) dari pendahulu-pendahulu yang dapat
dikatakan sebagai tokoh-tokoh/tua-tua gereja. Oleh karena itu melalui data dan
informasi yang kami peroleh dari penuturan orang tua terdahulu bahwa, penduduk
Ritey berasal dari Minahasa Utara, Minahasa Tengah dan Minahasa Selatan. Hal
ini membuktikan bahwa di Desa Ritey terdapat nama-nama marga seperti :
Tombokan, Mamengko, Assa, Lintang, Mirah, Weken, Lonteng, Tumilaar, Lumankun,
Sangkoy, Tumurang, dll. Sebelum Desa Ritey ditahbiskan (aita’di/tuma’di) kira-kira tahun 1505
diantaranya oleh dotu-dotu (Dotu Tongko Tou sebagai tona’as, Dotu Liud, Dotu
Kolon, Dotu Korok, Dotu Rumondor, Dotu Sembung, Dotu Kandey, Dotu Sendow, Dotu
Pandaa, Dotu Mamit, Dotu Lepa, Dotu Porayow, Dotu Rosang, penduduk desa ini sudah memeluk agama suku (alifuru)
yang berbakti dan menyembah pada ilah-ilah atau dewa-dewa. Yang dimaksud dengan
ilah-ilah yaitu penguasa-penguasa alam yang sakti dan gaib, bahkan tidak dapat
dilihat dengan mata telanjang. Kita ingat nyanyian “nanaani” yakni nyanyian leluhur kita yang
mengungkapkan ilah-ilah seperti dalam syairnya berbunyi sebagai berikut ; O
Empung Andang ka’ Tembonai Pakasa dan
seterusnya.
Dewa-dewa
ini adalah wahana leluhur yang didewakan karena dianggap perkasa, pemberani,
seperti Toar dan Lumimuut yang dilegendakan berasal dari Angina Tumileng yang
adalah pembawa butir-butir padi dari kayangan dll. Agama suku ini berakhir pada
saat agama Kristen dengan penginjilannya yang intensif masuk di Desa Ritey,
oleh orang Belanda dan penginjil-penginjil Jerman pada abad 18 sampai permulaan
abad 19. Suatu hal yang perlu kita ketahui bahwa pada waktu orang-orang
Portugis yang beragama Roma Katolik tiba
dan menguasai Amurang, tidak berhasil
masuk ke desa Ritey karena kuatnya agama suku dan karena sikap orang-orang
Portugis yang ganas serta suka berperang
itu, maka leluhur-leluhur kita pula tidak kala ganasnya menentang tindakan
tersebut. Hal ini tampak bahwa sampai saat sejarah ini ditulis, di desa Ritey
tidak terdapat penduduk yang menganut ajaran Roma Katolik.
Bersamaan
dengan pembentukan pemerintahan desa Ritey oleh pemerintah Belanda itu, maka
masuk pula agama Kristen Protestan di desa Ritey. Pada waktu itu desa Ritey
sedang dipimpin oleh seorang tona’as bernama LELA (nama kafir). Tona’as ini
memimpin dua desa yaitu desa Ritey dan desa Malenos Lama (kini desa Malenos
Baru) dan dengan adanya peyebaran agama Kristen Protestan maka tona’as Lela
memerintah supaya semua penduduk masuk agama Kristen Protestan. Tona’as Lelapun
turut bersama-sama dibaptiskan dan diberi nama Karel Lonteng.
Agar
supaya desa Ritey dan Malenos Lama segera beralih dari kafir ke Kristen
Protestan, maka penduduk di desa ini dibebaskan dari kegiatan-kegiatan atau
pekerjaan desa (kerja bakti). Dan penduduk yang belum memeluk agama Kristen
Protestan diwajibkan bekerja bakti pada hari Minggu untuk kepentingan desa
namum hal ini tidak berlangsung lama dan
seluruh penduduk kedua desa itu memeluk agama Kristen Protestan.
Bersamaan
dengan penyebaran agama Kristen inilah maka didirikanlah suatu sekolah yang
disebut sekolah zending (zendelling) kira-kira tahun 1835; sekolah ini
mula-mula terdiri dari tiga kelas. Kemudian tahun 1946 atas inisiatif dari guru
Nehemia Mirah (alm.), sekolah ini menjadi 4 kelas. Akhirnya pada tahun 1951
atas prakarsa dari Bpk. Frans Tenges (alm.) sekolah ini menjadi 6 kelas.
Berhubung
sekolah ini didirikan pada waktu tertib Administrasi Negara belum ada, maka
dasar hukum berdirinya sekolah tersebut belum ada pula. Nanti pada tahun 1978
sekolah ini mempunyai dasar hukum yakni dengan adanya surat keputusan dari
yayasan Kristen GMIM Tomohon No. 033/SD GMIM/78 tertanggal 1 Juni 1978. Jadi
sejak awal sekolah tersebut didirikan yakni tahun 1835 sampai dengan sekarang
ini (2009),
tetap dalam asuhan GMIM Ritey.
Arti nama Ritey dari beberapa pengertian diantaranya
diambil dari kata “Rentei “yang artinya “Tanaman yang meninggi di atas tanah akibat
pengikisan air hujan; tanaman yang tumbuh kelihatan tinggi (Rumentei).
“Kumentei”
dalam pengertian lain dapat berdiri dengan ujung telapak kaki untuk memperoleh
sesuatu di atas
tanpa menggunakan alat bantu, jadi Ritey diambil dari kata “Rentei” dan
“Kumentei”.
Tetapi berdasarkan
pula data/informasi dari tokoh-tokoh masyarakat bahwa secara etimologi (asal
usul kata) berasal dari kata Ri’ita’ai.
Ri’ita’ai : Riit
artinya dekat
Rete artinya dekat
(Tombulu)
Ei/ai artinya
kemari, kesini
Jadi Ritey artinya
“dekatkan kemari”.
Dengan pemahaman
bahwa letak/kedudukan rumah pada waktu itu sangat berjauhan dan apabila terjadi
hal buruk pada keluarga, tetangga tidak saling mengetahui dan menolong. Itu
sebabnya demi keamanan maka disarankan untuk mendekat. Hal ini mengandung
filosofi bahwa orang Ritey memiliki sifat rasa kasih sayang yang tinggi kepada
sesamanya/tetangga/orang lain, suka hidup berdekatan/berdampingan, memiliki
rasa persaudaraan, saling membantu, suka dengan kerukunan dan bersatu.
B.
Fakor Budaya
Sebelum
dan sesudah kampung ini ditahbiskan (aita’di/tuma’di) orang alifuru percaya pada banyak dewa sebagai penguasa alam yang
dianggap memeiliki kekuatan gaib/sakti sebagai pelindung, pembela, pemelihara, dll.
Orang
yang melakoni sebagai perantara dengan dewa-dewa adalah Tona’as dan Wali’an.
Mereka ini memiliki kecakapan khusus dan kekuatan gaib hitam dan putih.
1.
Matuli’
Ritual upacara hasil panen sebelum makan bersama
disendirikan makanan khusus untuk dewa-dewa sebagai sesajian.
2.
Rumeindeng Wo Rumani
Menyanyi sambil menari mengacungkan
tangan ke atas
sambil mengucapkan bahasa yang hanya dimengerti oleh Wali’an dan Tona’as
diakhiri dengan ucapan : Oh wa’ilan, oh opo-opo I semperangge matuli’wo siwawaya anio’
we’ena’ai keted wo
kamangenai
3.
Upacara Pangelepan
(Upacara Pemujaan)
Rakyat dikumpul dalam suatu tempat,
sementara wali’an
dan tona’as
berkeliling sambil berlompat dan berteriak dalam bahasa gaib diiringi bunyi
tetengkoran dan tingtingen.
4.
Kapelik’an
Tempat tertentu yang dianggap keramat, khusus
didatangi oleh wali’an
dan tona’as.
Selanjutnya
oleh karena seirama dengan percepatan kemajuan, dan perkembangan yang ada, dibarengi
dengan pertumbuhan iman jemaat yang dewasa maka sosial kultur pada waktu itu
sedikit demi sedikit mulai meninggalkan pola pikir budaya yang lama, sehingga
ada kecenderungan dari masyarakat yang punya kerinduan untuk mengikuti pola perkembangan budaya yang
moderen.
Setelah
masyarakat mau mengikuti perkembangan yang ada maka keempat faktor budaya di atas secara
berangsur-angsur mulai terjadi pengikisan/bergeser. Dengan demikian karena
dipandang bahwa keempat faktor budaya tersebut tidak sesuai lagi dengan
kehidupan/perkembangan jemaat dewasa ini
yang semakin moderen maka budaya santun “tegur sapa” dan “tutur kata”,
satu dengan yang lain, serta budaya mapalus (gotong royong), selalu
dikedepankan.
Aspek-aspek
budaya jemaat mula-mula yang positif yang perlu dilestarikan antara lain :
-
Pertanian : Budi daya
kelapa, jagung, padi,
gula batu, sopi (cap tikus)
-
Seni Budaya : Maowey (
Maengket), rumamba’
dan Kabasaran
-
Falsafa Hidup : Sumerar,
Tumane, Tumani, Tumou Tou
-
Aspek sosial Kemasyarakatan :
Mapalus, Mentamber-tamberan, Ma’arukup, Mamusu sama’.
BAB III
PERKEMBANGAN PENGINJILAN DAN PENDIDIKAN
Kekristenan sudah hadir di Indonesia
sejak kedatangan Portugis dan Spanyol di Indonesia. Namun misi yang berkembang
adalah misi Katolik yang pada akhirnya juga
tidak berkembang dengan baik dan banyak mendapat
halangan oleh kepercayaan suku yang sangat kuat dimasa itu. Pada tahun 1644
berakhirlah kegiatan misi di Indonesia dengan berakhirnya masa penjajahan
Portugis dan Spanyol di Indonesia. Pada tahun 1602 pemerintah Belanda membentuk
sebuah Maskapai Perkapalan yang diberi nama Verenigde Oost Indische Company
(VOC) yang menggantikan Portugis dan Spanyol di Indonesia. Kehadiran VOC ini
disertai juga beberapa pendeta. Hal ini berhubungan dengan munculnya minat baru
terhadap pekabaran injil yang timbul di Inggris pada Abad ke-VIII dan segera
berpindah ke Belanda. Pada tahun 1797 didirikan sebuah Badan Penginjilan yang diberi
nama Nederlands Zendeling Genoostschap (NZG) di Rotterdam. Badan ini kemudian
mengutus pendeta-pendeta ke Indonesia termasuk kebagian timur yaitu daerah
Maluku, Timor dan Minahasa di mana para Zendeling menemukan kelompok-kelompok
orang Kristen yang tidak terpelihara dan terawat imannya.
A.
Di Minahasa
Penginjilan di Minahasa sudah
dimulai dengan datangnya orang Portugis dan Spanyol di tanah Minahasa. Pada
tahun 1512 dalam perjalanan menuju Ternate, Portugis sempat singgah di
Minahasa. Dalam kapal itu ikut serta Paderi Diego Magelhaes yang kemudian
mengkristenkan 1500 orang termasuk Raja Manado pada tahun 1563. Dengan demikian
pada masa itu Injil sudah mulai diberitakan di tanah Minahasa melalui misi
Katolik bangsa Portugis. Namun seperti di tempat-tempat lain misi ini tidak
berkembang dengan baik. Pada tahun 1644 berakhirlah kegiatan misi Katolik di
Minahasa.
Pada tahun 1663 Verenigde Oost
Indische Company (VOC) menggantikan kekuasaan Portugis dan Spanyol di Minahasa. Kedatangan VOC
ini disertai juga beberapa orang pendeta. Salah satu diantaranya adalah Ds.
Montanus yang pada tahun 1707 melaporkan bahwa terdapat 500 orang Kristen di
Manado. Namun di tahun 1789-1817 jemaat-jemaat itu terbengkalai dan terlantar.
Tahun 1817 Minahasa sempat dikunjungi oleh Josef Kam yang karena pekabaran
injilnya di Maluku dijuluki Rasul Maluku, kemudian tahun 1819 dikunjungi oleh
DS Lenting dan tahun 1827 dikunjungi oleh Hellendorn yang disebut-sebut sebagai
perintis penginjilan di Minahasa.
Pada tahun 1829 sebuah badan penginjilan yang
bernama Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) memutuskan untuk menjadikan
Minahasa sebagai lapangan Pekabaran Injil di samping Ambon dan Timor. Mereka
kemudian mengutus Riedel dan Schwars ke Minahasa dengan Riedel di Tondano dan
Schwars di Kakas lalu pindah ke Langowan. Tanggal 12 Juni 1831 kedua Pekabar
Injil itu tiba di Manado. Dan tanggal ini kemudian ditetapkan oleh GMIM sebagai
Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen karena dalam upaya melaksanakan
Pekabaran Injil para penginjil membuka
sekolah-sekolah yang menarik minat orang-orang Minahasa. Faktor inilah
yang menjadi salah satu penyebab hingga Pekabaran Injil di Minahasa begitu cepat berkembang dan meluas.
Ditahun-tahun selanjutnya Pekabaran Injil di Minahasa berkembang seiring dengan
perkembangan pendidikan Kristen di Minahasa.
B.
Di Amurang
Pekabaran Injil di Amurang sudah
dimulai sejak datangnya orang Portugis dan Spanyol di tanah Minahasa tahun
1512. Pada tahun 1522, tanah Malesung berangsur-angsur dikuasai oleh Portugis
dan Diego de Magelhaes mendapat kesempatan memulaikan misinya. Pada masa itu
disekitar pantai Amurang dibangun logi-logi penampungan hasil pertanian. Desa
Ritey yang berada disekitar Amurang dipengaruhi oleh kedatangan Portugis
sehingga suku Minahasa bagian utara menjadikan desa Ritey sebagai tempat
persembunyiannya.
Di masa sekarang ini bukti kehadiran
Portugis di Amurang masih bisa ditemukan. Sebuah benteng Portugis bisa ditemui di pantai Amurang adalah sebuah
bukti kehadiran Portugis di Amurang walau tidak lagi ditemukan data akurat kapan
tepatnya mereka tiba di sana. Hasil observasi dan ekskavasi tim survey dinas
Arkeologi Sulawesi Utara yang dipimpin Dr. Santoso Sughodo tahun 1991-2000
menemukan bahwa Gerjea Sentrum, Penjara Amurang, dan ex-Kantor Koramil termasuk dalam areal benteng
tersebut. Dulunya
di atas tanah yang kini didirikan Gereja Sentrum terdapat Kapel yang menjadi
tempat beribadah
para penghuni benteng dan masyarakat sekitar yang telah menjadi Kristen.
Pada tahun 1644 - 1645 suatu armada
Spanyol memasuki teluk Amurang dari Filipina. Armada itu mendarat di pantai
Kawangkoan Bawah dan mendirikan benteng di sana. Karena sikap kejam bangsa
Spanyol terjadi perlawanan dari golongan suku-suku di Minahasa. Spanyol
kemudian terdesak dan meminta bantuan pada Verenigde Oost Indische Company
(VOC) yang
telah berada di Ternate.
Harus diakui walau kehadiran
Portugis dan Spanyol di Minahasa/Amurang adalah sebagai penjajah, merekalah
yang yang memperkenalkan kepercayaan Kristen di Minahasa/Amurang. Dan tidak
mustahil tanpa kehadiran mereka Minahasa/Amurang sudah diislamkan oleh Sultan
Ternate.
Setelah Portugis dan Spanyol meninggalkan
Amurang, jemaat Kristen menjadi terlantar dan tidak terpelihara. Banyak yang
kemudian kembali pada kepercayaan mereka terdahulu yaitu kepercayaan suku.
Perkembangan baik baru dialami jemaat setelah Verenigde Oost Indische Company
(VOC) dan
Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) hadir
di Amurang.
Pada tanggal 1 Januari 1837 NZG
mengutus Zendeling Karl Tragot Herman di Amurang dan menyampaikan khotbah
perdananya. Herman kemudian menetap di Amurang dengan istrinya dan seorang
anaknya. Ketika tiba di Amurang dia menemukan 700 orang Kristen yang sudah di
Baptis tapi tidak terpelihara kerohaniannya. Wilayah pelayanan Karl Tragot
Herman melingkupi 100 desa disekitar Amurang dengan jumlah penduduk sekitar
30.000 jiwa. Desa Ritey adalah salah satu desa diantaranya. Pada tanggal 17
Juli 1836 Herman mulai mendirikan sekolah.
Kedatangan Karl Tragot Herman
membawa nuansa baru lewat pekabaran-injilnya yang intensif di Amurang. Ia
sangat rapih dan teguh dalam bekerja serta disiplin hingga dijuluki sebagai
“orang yang selalu rindu pada pekerjaan”. Ia giat mengajar dan berkhotbah. Pada
tanggal 27 September 1851. Karl Tragot Herman meninggal dan dikuburkan di
Amurang tepatnya di desa Ranoyapo.
C.
Di Ritey
Pada masa Portugis dan Spanyol tidak
ditemukannya data/bukti kalau
kekristenan sudah sampai di Ritey. Data tertua yang ada yaitu di zaman
Karl Tragot Herman tahun 1836-1851. Di masa itu Ritey termasuk di antara 100
desa yang menjadi wilayah pekabaran injil Karl Tragot Herman.
Pada tahun 1849, dua tahun sebelum
Karl Tragot Herman meninggal, Nederlands Zendeling Genootschap (NZG) mengutus Ds S. Ulfers ke Minahasa dan mendirikan jemaat di Ranoyapo
tepatnya di desa Kumelembuay. Seluruh klasis Amurang yang kala itu disebut Klasis Rumoong-Tombasian menjadi
tanggung-jawabnya. Dengan menunggang kuda ia melakukan lawatan-lawatan ke
seluruh wilayah Klasis Amurang termasuk ke desa Ritey. Hanya kapan pastinya
kunjungan itu sudah tidak diketahui lagi. Pada masa Ds. Ulfers inilah diketahui
bahwa di desa Ritey sudah ada
pembangunan gereja (gereja pertama ) yang dibangun pada tahun 1835. Sebelum
berdirinya gedung gereja ini persekutuan jemaat dilaksanakan di rumah-rumah
penduduk. Pembangunan gereja pertama ini dilaksanakan pada masa pemerintahan
Nikolas N. Lintang.
Pada tahun 1850, satu tahun setelah
pengutusan Ds. S. Ulfers, diutuslah Ds. Nicolas Graafland yang ditempatkan di
Sonder. Dari catatan-catatan pribadi yang ditulisnya di atas geladak kapal yang
tengah mengarungi Samudera Atlantik dalam perjalanan pulang ke negeri Belanda
diperoleh data bahwa Ds. Nicolas Graafland pernah beberapa kali menginjakkan kaki di desa
Ritey. Dalam tulisannya ia menyebutkan
bahwa :“ Di negeri Koreng, Maliku, Ritey dikatakan : negeri kecil dan seluruh
daerah ini memberi kepuasan kepada zendeling-guru di Amurang itu mengenai kehidupan
Kristen yang menampakkan diri di sini. Di bagian luar anda dapat melihatnya
dalam didirikannya gedung gerjea yang kecil, orang yang ramah serta akrab,
serta negeri yang dibangun dengan rapi.” (Graafland, N. 1987: 292). Perjalanan
Ds. Nicolas Graafland ini dilaksanakan sekitar tahun 1864. Ini menunjukkan bahwa jemaat
Kristen sudah ada jauh sebelum tahun 1864 dengan sudah adanya sebuah gereja
kecil seperti
Ulfers, Graafland melaksanakan pelayanan sakramen Baptisan dan pernikahan di
desa Ritey.
Pada tanggal 16 Januari 1851 S. Van
Der Velde Cappelan bertugas di Amurang menggantikan Karl Tragot Herman. Ia
melayani sampai ke daerah-daerah pegunungan di sekitar Amurang termasuk juga
desa Ritey. Pada tahun 1857 seorang prIbumi yaitu Ds. L. Mangindaan berhasil
menamatkan pendidikannya di negeri Belanda dan pulang ke Minahasa. Ia kemudian
diteguhkan sebagai Predicant di Manado. Dalam perjalanan dinasnya, Ds. L.
Mangindaan beberapa kali menginjakkan kakinya di desa Ritey.
Pada tahun 1861 Ds. Van De Liefde
dan Ds. J.A.T. Schwarch ditempatkan di klasis Amurang dan mereka juga pernah
mengunjungi desa Ritey dan melayani jemaat Ritey.
Pada tahun 1885, Ds. Wiersman dan
Ds. Schwarh bersama tokoh-tokoh NZG lainnya secara bersamaan berkumpul di desa
Ritey dalam acara Pertemuan Raya Antar Klasis se Minahasa ( ada dugaan
sementara pada acara inilah Jemaat Ritey diberi hadiah sebuah lonceng gereja
yang dikirim langsung oleh NZG dari Belanda melalui Tim Perumus pasca pertemuan
raya itu ).
Pada tahun 1889 Pdt. E.W.G Graafland
yang adalah putra Ds. Nicolas Graafland melaksanakan tugas pekabaran-injilnya.
Ia ditugaskan NZG di Rumoong (Atas) dan Amurang. Untuk menuju Amurang, jalur
jalan Tumaluntung, Kaneyan, Ritey adalah jalan alternatif yang sering dilalui
oleh Graafland muda ini. Hasil wawancara dengan tua-tua desa yang masih hidup
sampai tulisan ini dIbuat (a.l. Bapak Wem Tenges) mengatakan bahwa Ds. Nicolas
Graafland muda melayani di Ritey dengan menunggang kuda bersama
penolong-penolong yang lain termasuk isterinya Clara De Vries. Clara De Vries
membantu pekabaran injil suaminya dengan mengajarkan ketrampilan masak-memasak,
jahit menjahit, dan keterampilan rumah tangga
lainnya. Di masa itu jemaat Ritey dipimpin oleh Jesaya Tambayong. Bukti-bukti
dari pelayanan Graafland muda antara lain membaptis : 1) Membaptis Bpk. Piet
Lonteng ( anak dan cucunya masih hidup dan menetap di Manado), 2) Membaptis Ibu
Ending Lintang tahun 1896 ( Ibunda Bpk. Wem Tenges). Keduanya diangkat sebagai
anak Baptis (anak sarani)
oleh Graafland muda ini kemudian bukti otentik Graflan Mudah yang ada sekarang
adalah surat baptis a.n. Nehemia Mirah
pada tanggal 16 Juni 1901.
Dalam perjalanan tugasnya sampai
tahun 1914, pendeta Graafland muda dibantu oleh Pdt. H.J. Ten Kate. Setelah
Pdt. Graafland meninggal. Selanjutnya secara berturut-turut yang melayani
resort Amurang adalah Pdt. B. Moendoeng tahun 1927-1930 dan Pdt. H.G. Tiel tahun
1930-1942.
D.
Pembangunan Tempat Ibadah Sebelum Tahun 1936
Gereja pertama dibangun pada tahun
1835 berbentuk 6 (enam) sudut. Gereja kedua dibangun tahun 1919 semi permanent
lantai beton atap seng dan di depan gereja dibangun tugu yang tingginya
kira-kira 3 meter dan terdapat ornamen-ornamen pada tugu tersebut. Gereja ini dibangun
pada masa Guru Jemaat/Kepala Sekolah Bapak Tuwo.
Pada tahun 1935 disepakati untuk
membangun gereja di lokasi yang sama, yang
kemudian dibangun gereja darurat (gereja fals) yang bertempat di halaman
Nikolas Lonteng (kostor pada waktu itu) gereja ini dipakai selama 1 (satu)
tahun.
Pada pertengahan (masa lIbur dan panen) tahun 1936 gereja
baru ditahbiskan oleh Pdt. Thiel dan dihadiri oleh pejabat Pemerintah dan
para undangan. Sebelum peresmian dibentuk panitia antara lain Sersan H. Mirah,
Esra Lintang dan Frans
Tenges. Setelah ditahbiskan dibuat acara rama tama di gereja fals.
Gereja yang Ditahbiskan oleh Pdt. Thiel pada Tahun
1936
Bagian dalam
Gereja yang Ditahbiskan oleh Pdt. Thiel pada Tahun 1936
BAB IV
PENDIDIKAN DAN KESEHATAN SEBAGAI WAHANA PENGINJILAN
Sektor pendidikan dan kesehatan sebagai wahana untuk
mempercepat proses penginjilan di Minahasa umumnya dan khususnya di jemaat
Ritey.
Pada penginjil yang masuk di tanah Minahasa
berpendapat bahwa untuk dapat menanamkan pemahaman Injil dengan benar, maka
syarat utama yang harus dicapai adalah penduduk Minahasa harus terdidik dan
sehat jasmani. Oleh karena itu dibangunlah pusat pelayanan kesehatan
seperti rumah sakit Bethesda Tomohon, Rumah
sakit Pancaran Kasih Manado, Rumah sakit Kalooran Amurang demikian juga di
Langowan, sonder, Airmadidi dan Tondano.
Di bidang pendidikan, sesudah GMIM mulai
menata/mengatur dirinya sendiri dengan baik, GMIM mendirikan sekolah-sekolah.
Sesuai keputusan Malino bahwa Sekolah Teologi untuk kawasan Indonesia Timur
dipusatkan di Ujung Pandang. Selain sekolah Teologi didirikan pula PGAK/P (Pendidikan Guru Agama
Kristen Protestan) di Tomohon tahun 1962. Kemudian dIbuka lagi di Airmadidi, dan di
Amurang pada tahun 1980. Lulusan PGAK/P ini ditugaskan mengajar Agama Kristen di sekolah dasar, SLTP bahkan
mengajarkan katekisasi, berkhotbah bahkan memimpin Ibadah.
Selain itu pula melalui yayasan persekolahan GMIM,
mendirikan sekolah-sekolah umum seperti TK, SD, SMP, SMA dan sekolah kejuruan
lainnya seperti STM, SMK dll. Khusus di jemaat GMIM Ritey bersama dengan
penyebaran Agama Kristen, telah didirikan suatu sekolah yang disebut sekolah
NZG (kelas satu) tahun 1835. sekolah ini mula-mula masih terdiri dari tiga
kelas. Kemudian pada tahun 1946, atas inisiatif dari seorang guru bernama
Nehemia Mirah, sekolah ini menjadi 4 kelas. Akhirnya tahun 1951 atas prakarsa Bapak Frans Tenges
sekolah ini menjadi 6 kelas. Berhubung sekolah ini didirikan pada waktu tertib
administrasi negara belum ada, maka dasar hukum berdirinya sekolah ini belum
ada pula. Para tenaga pengajar (guru) dan Kepala sekolah yang ditugaskan di
sekolah ini sebelum perang
dunia ke II antara lain : Bpk. Lapian, Tuwo (Tangkuney), P. Rorong ( Rumoong),
Mirah, Oroh, Lumi, Jesaya Tambayong
(Maliku), Tampinongkol, Egeten dan H. Mangowal. Nanti tahun
1978 sekolah ini memiliki dasar hukum yakni dengan adanya surat keputusan dari
yayasan Kristen GMIM Tomohon no. 033/SD GMIM/78 tertanggal 1 Juni 1978. Jadi
sejak awal sekolah didirikan yakni 1835 sampai sekarang, tetap dalam asuhan
GMIM Ritey.
Selanjutnya jemaat GMIM Ritey mengasuh sekolah taman
kanak-kanak sejak tahun 60-an Sampai sekarang. Bahkan ditahun 1970 jemaat GMIM Ritey pernah mengasuh
sekolah lanjutan tingkat pertama/SMP Kr. Ritey, namun sangat disayangkan
sekolah ini tidak dapat dipertahankan. Akibatnya tahun 1982 pemerintah Desa
Ritey memprakarsai berdirinya SMP LKMD Desa Ritey. Hukum Tua A.J. Sangkoy dan
ketua LKMD J. Moroki tahun 1983 SMP LKMD beralih ke yayasan yakni menjadi SMP PGRI Ritey.
BAB V
PERKEMBANGAN JEMAAT
A.
Perkembangan Jemaat Tahun 1936-1970
Pada bagian ini akan dibahas secara
khusus perkembangan jemaat GMIM Ritey di periode tahun ini karena pada masa ini
jemaat berkembang dengan pesat dan mulai tertata walau harus melewati masa-masa sulit zaman
Kolonial, Jepang dan Permesta.
Setelah GMIM berdiri sendiri
Gubernur Jendral BC de Jonge ditandai
dengan ibadah
pada 30 September 1934 dengan Beslit no 5 (staatbalt 563), resort-resort kependetaan masa NZG berubah
menjadi klasis. Jemaat Ritey menadi
bagian klasis Amurang dengan struktur pelayanan: jemaat dipimpin oleh majelis jemaat; wilayah dipimpin oleh
badan pengurus klasis.
Selanjutnya sebagaimana aturan tata
gereja tahun l934 maka jemaat diberi kesempatan mengatur rumah
tangganya sendiri. Di samping mengatur menata jemaat pada masa ini pula jemaat
diperhadapkan dengan pergumulan antara lain;
masa pendudukan Jepang (Perang Dunia II). Masa sulit ini mengakibatkan
jemaat berangsur-angsur lari kehutan sehingga ada yang sakit bahkan meninggal
di kebun dan hutan. Kendatipun demikian terdapat juga jemaat yang
”bergerilya” yang memiliki keterampilan
perang hasil didikan tentara Belanda.
Dapat dikemukakan di sini bahwa
zaman pendudukan Jepang jalur Ritey Kaneyan merupakan “basis kekuatan gerilya”.
Para saksi hidup menceritakan kira-kira 40 tentara Angkatan Laut Jepang dengan beberapa kendaraan lengkap dengan
senjata “memburu” para gerilya melintasi kampung ini. Setelah berada di Kaneyan
terjadilah kontak senjata yang tidak seimbang dengan para gerilya yang adalah warga jemaat Ritey yaitu: Eli Moroki,
E. Tuuk dan H. Tambaani pada tahun 1947. Setelah konfrontasi tersebut tentara Jepang pulang
melintasi jemaat Ritey walau tinggal
beberapa orang saja sambil memaksa para anak-anak kampung untuk menunjuk tempat
persembunyian para gerily demikian tutur
para saksi.
Kemudian kesulitan muncul lagi
dengan adanya serangan sekutu di Minahasa. Pada zaman ini gaji para penginjil
dan Pendeta tidak dibayar oleh Pemerintah. Walaupun demikian, hasil penginjilan
NZG menghasilkan seorang putra jemaat (ketua Jemaat) Nehemia Mirah diberikan hak
Ezrar oleh Sinode untuk melaksanakan Peneguhan Sidi dan Perjamuan Kudus
dengan nomor TBS4/6/4 tanggal 19 Oktober 1948. Setelah PD II Jemaat pun ikut
mengalami situasi pengaruh revolusi kemerdekaan.
Tahun 1950 diumumkan oleh Pemerintah
RI pemisahan keuangan Negara dan Gereja. Oleh karena itu warga jemaat yang
potensial hasil binaan NZG dengan spontanitas mengaktifkan diri dalam pelayanan
ibadah termasuk dunia
Pendidikan.
Pada masa-masa sulit ini Amurang dan sekitarnya termasuk Jemaat
Ritey dilayani oleh M. Sondakh, A. Rampen, Pdt Mowilos, Pdt Goni.
Pada tahun 1957 terjadilah
pergolakan Permesta. Perang saudara ini
membutuhkan pelayanan jemaat secara intensif. Walaupun sementara dalam
persembunyian, Gereja GMIM Bait’El Ritey
tetap dijadikan satu-satunya tempat peribadatan pada setiap hari minggu, di samping beribadah di kebun.
Sesudah pergolakan Permesta tahun
1961 Jemaat GMIM diperhadapkan dengan maraknya kegiatan partai-partai politik. Untuk menghindarkan Jemaat supaya jangan
terkotak-kotak maka Sidang SINODE memutuskan kepada warga jemaat agar supaya
menolak paham Komunisme.
B.
Perkembangan Jemaat
Tahun 1970-2004
1. Penempatan Tenaga
Gereja
Pada bulan November tahun 1982 ditempatkan Guru Agama
Debby Rori di Jemaat Ritey dan pada
bulan Oktober tahun 1994 mutasi ke jemaat GMIM Getsemani Senduk yang kemudian digantikan oleh Guru Agama Adel Kakalang dari Jemaat
Teling Wilayah Tanawangko sejak
tanggal 19 Juni 1994 sampai tahun 1996 setelah
itu mendapat rekomendasi studi lanjut di Fakultas Theologi UKIT Tomohon. Kemudian pada tanggal 01
Juli 1997 menerima Vikaris Guru Agama Junaedy R. Sangkoy sampai tahun 1999, dan
tanggal 13 Oktober 1999 terpilih sebagai Ketua Komisi Pelayanan Anak. Tanggal
16 November 1998 Welny Momongan diterima oleh jemaat sebagai Vikaris Guru Agama
dan tanggal 29 Oktober 1999 diteguhkan sebagai Guru Agama sampai tahun 2006
kemudian tanggal 18 November 2006 berhenti sebagai Guru Agama karena telah
beralih status sebagai CPNS. Pada tanggal 14
November 1993 jemaat menerima Vik. Pendeta Mourits
M.L. Rumengan, S.Th dan melaksanakan masa vikariatnya
selama 1 tahun. Pada tanggal 27 November 1994 diteguhkan sebagai Pendeta
Pelayanan oleh Pendeta Ny. L. F. Tamuntuan – Makisanti mewakili Badan Pekerja
Sinode GMIM. Pada tahun 1995 Pdt. Mourits M.L. Rumengan, S.Th dipilih oleh Sidang
Majelis Jemaat sebagai ketua BPMJ GMIM Ritey Periode 1995–2000. Pdt. Mourits
M.L. Rumengan, S.Th menikah dengan Pdt. Indrawati Sukardi,
S.Th yang kemudian menjadi Pendeta Pelayan di Jemaat Ritey. Pada Agustus 2001
Pdt. Mourits M.L. Rumengan, S.Th dipindahtugaskan
oleh Badan Pekerja Sinode ke Jemaat GMIM Suluan Wilayah Tomohon dan digantikan oleh Pdt. Gammy R.B. Porong, S.Th dan
Pdt. Winda Porong – Weol, S.Th dari Jemaat Atep Wilayah Langowan I. Serah terima
dilaksanakan pada Ibadah
Minggu tanggal 29 Juli 2001 dan dilangsungkan dengan acara pisah sambut
kemudian rama tama di halaman Pastori. Sebelum ditempatkannya pendeta di jemaat
Ritey pada waktu itu ibadah sakramen dilaksanakan oleh pendeta yang ada
ditingkat wilayah Tumpaan seperti : Pdt. Lengkey, Pdt. Sondakh, Pdt. Suoth,
Pdt. Rumbayan, Pdt. Mukuan, Pdt. Runtukahu dan beberapa pendeta GMIM lainnya.
2.
Persekutuan
Ibadah-ibadah dilaksanakan secara
kontinuitas di kolom-kolom (ibadah KKR)
dan Kategorial yaitu ibadah Kategorial BIPRA, dan ibadah-ibadah lain yang dIbutuhkan sesuai permintaan
jemaat. Ibadah-ibadah ini dilaksanakan sesuai jadwal yang ditetapkan dan atas permintaan anggota jemaat. Juga dilaksanakan
Ibadah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) dengan mendatangkan pembicara Tingkat Sinode dan Penyanyi Rohani
Tingkat Nasional diantaranya Ev Jouke Frits pada bulan juni 2003.
Sebagai respon atas meningkatnya
jumlah Jemaat, dilaksanakan pula Ibadah-ibadah Sakramen seperti: Baptisan Kudus, dan Perjamuan
Kudus. Ibadah Pemberkatan Nikah
dilaksanakan sesuai kebutuhan.
3.
Diakonia dan Pendidikan
Diakonia adalah salah satu bentuk
pelayanan gereja yang harus dilaksanakan seperti amanat Tuhan Yesus. Diakonia
juga adalah salah satu wujud perhatian
Gereja terhadap warga Jemaat. Jemaat GMIM Bait’El Ritey pun melaksanakan amanat gereja dengan diakonia seperti,
kedukaan, kesehatan, orang cacat, janda-duda, kecelakaan yang dananya bersumber/diperoleh dari perbendaharaan jemaat dan donatur.
Di Bidang Pendidikan juga dilaksanakan Peduli
Pendidikan antara lain :
§ Sidang Majelis jemaat bulan Maret 1993 menetapkan Beasiswa bagi seorang
Mahasiswa Teologi UKIT a.n. Steven Lintang untuk biaya selama 5 (lima) tahun.
§ Secara bertahap sejak tahun
1997 mengangkat 5
tenaga Guru SD dan TK GMIM Ritey sampai sekarang yang dananya diambil dari Pos
Pendidikan Jemaat,
mereka adalah:
1. Greace Tumurang
2. Ibu Netty Tombokan Tumurang
kemudian diganti oleh Marie Tumilaar Moroki
3. Bpk. Wem Tombokan diganti Bpk. Evert Tombokan kemudian diganti oleh Ibu. Luske Tutu-Lonteng
4. Ibu Marie Assa Lonteng guru TK.
5. Bpk. Zeth Pandegiroth guru honorer
§ Pada tahun 2000 Memberikan beasiswa
pada murid SD Kelas VI.
§ Tahun 2003-2004 memberikan beasiswa kepada seorang siswa berprestasi yang kurang mampu di SMP PGRI Ritey atas nama Cristofel Lonteng,
Selain peduli pendidikan, pada tahun
1986 jemaat membeli sebidang tanah (samping SD GMIM) kemudian didirikan gedung
Taman Kanak-kanak semi permanen yang dikerjakan secara swadaya oleh jemaat kemudian
diresmikan oleh camat Tombasian Drs. H. REMBET yang diawali
dengan ibadah .
Sektor pendidikan non formal
dipandang sebagai penunjang sumber daya jemaat. Dengan demikian Gereja
mengikutsertakan warga jemaat
dalam setiap kursus-kursus dan pelatihan seperti : LKPG, LTPR, PDGSM, Kursus
Wanita Gereja yang dilaksanakan oleh Sinode, bahkan jemaat GMIM Ritey pula tercatat 2 (dua) kali melaksanakan kegiatan LKPG
tingkat jemaat
tahun 1984. Kemudian tahun 2003 atas prakarsa “Pemuda Bait’El” menyelenggarakan
kegiatan Latihan Kepemimpinan dan Kewirausahaan
yang diikuti oleh 100 (seratus) peserta dari pelosok Minahasa. Para nara
sumber didatangkan dari Sinode dan Pejabat Pemerintah. Selain itu jemaat juga melaksanakan
Pelatihan pembuatan Pupuk Bokasi serta kegiatan Seminar yang dilaksanakan oleh
Komisi Remaja tahun
2003.
4. Sarana dan
Prasarana
a.
Pembangunan Gereja
dan Pastori
Setelah melihat sarana peribadatan tidak memadai lagi,
maka pada tahun 1974 dilaksanakan pergantian atap seng Gereja kemudian pada
periode berikutnya dilaksanakan perluasan tangga Gereja dan pembuatan pagar
beton melingkari halaman Gereja. Usaha
perbaikan gedung Gereja direspon oleh Remaja dan Pemuda dengan melaksanakan
pengecatan gedung Gereja
pada tahun 1987. Memasuki periode 1990 –
1994 muncul wacana pembangunan Gereja maka pada awal periode sidang Majelis Jemaat
Desember 1990 memutuskan melaksanakan rehabilitasi dan perluasan ke belakang
bangunan Gereja melalui komisi Pembangunan.
Keputusan ini direalisasikan dengan dilaksanakannya perletakan batu
pertama pada tanggal 26 Januari 1991 (acara kuncikan) oleh Badan Pekerja
Sinode. Dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan itu, berkembang gagasan baru
untuk membangun Gereja Baru di atas lahan berdirinya Gereja Lama. Ini berarti gereja lama akan dibongkar.
Maka dibentuk pula seksi usaha dana dan dibuatlah gambar Gereja Baru yang dirancang oleh Ir. Bpk.
Frangky Tombokan. Pada masa ini jemaat
serta merta mengaktifkan diri dalam pekerjan pembangunan yang realisasinya
sampai tiang-tiang beton telah berdiri disamping
Gereja tua.
Dalam konteks kegiatan pembangunan
Gereja, ketika itu muncul lagi beberapa usul/pendapat,
bahwa Gereja Baru harus dibangun di lokasi baru dan melestarikan Gereja tua. Di masa inilah
yakni dalam rentang tahun 1991 sampai 2001 Jemaat diperhadapkan dengan situsi
yang serba sulit di mana jemaat berdiri di atas dua pandangan yang berbeda
yaitu membongkar gereja lama atau mempertahankannya. Namun peristiwa itu telah diaminkan bersama sebagai ujian “Sang Kepala Gereja” bagi
jemaat GMIM Ritey. Tahun 1994
tanah/kebun milik Gereja yang berbukit (belakang Gereja tua) dalam waktu 100 (seratus) jam menjadi
rata, digusur dengan Weel Loader
sumbangan dari Bapak Welly Tenges yang berdomisili di Jakarta. Kemudian lokasi
tersebut ditetapkan oleh Sidang Majelis jemaat tanggal 08 dan 12 Februari 2001 menyetujui gambar
baru yang dIbuat oleh Ir R. Sukardi dan ditindaklanjuti dengan membentuk panitia pelaksana. Dalam
pelaksanaan kegiatan pembangunan itu kemudian ditemukan ketidaksesuaian antara
keputusan Sidang Majelis Jemaat dan pelaksanaan pembangunan. Maka pada tanggal
04 Desember 2001
dilaksanakan rapat khusus di Konsistori yang dihadiri oleh 16 (enam belas) orang Pelsus dan panitia pembangunan. Dalam
rapat itu disepakati dilaksanakannya pembangunan gedung Gereja terpadu antara bagian depan dan belakang
(gambar Ir. Frangky
Tombokan dan Ir. R. Sukardi) selanjutnya disepakati pula gambar Gereja terpadu tersebut digambar oleh Bapak Yudy
Lonteng dan Bapak Hector
Lonteng. Hasil kesepakatan ini membawa
suasana baru bagi seluruh warga Jemaat
dan dalam usaha pembangunan, Jemaat berloma-lomba mengumpul dana untuk
pembangunan Gereja. Pada sidang Majelis bulan November 2004
dilaporkan oleh panitia bahwa realisasi pekerjaan mencapai 125M3 (beton
bertulang) siap pasang atap dengan jumlah dana Rp 300.000.000, dalam jangka waktu dua tahun.
Pada tanggal 11 April 1997
disepakati untuk membangun Pastori yang sifatnya darurat dan dilanjutkan dengan pembentukan
panitia tanggal 02 Juni 1997 kemudian dilaksanakan perletakan batu pertama dan
ditabiskan pada hari Minggu
tanggal 30 November 1997
oleh Pdt.
A.F. Parengkuan (BPS Sinode
GMIM). Pada bulan Desember 2001
dikerjakan pengaspalan jalan menuju Pastori sepanjang 100 meter atas prakarsa
Jemaat.
b.
Prasarana
Penunjang Ibadah Lainnya
Pada masa periode 1990-1994 di tahun 1993 Komisi Remaja Pemuda melaksanakan usaha pengadaan bangku Gereja dari kayu
wasian yang berjumlah 52 buah melalui kelompok kerja yang diketuai oleh Drs. Lendy J. Sangkoy. Sumber kayu berasal dari
perkebunan Malulu lewat izin dari Dinas Kehutanan Minahasa. Kemudian periode
1995-1999 pada tahun 1997 Komisi Pemuda dibawa kepemimpinan Pnt. Drs. Joudy Sangkoy kembali melaksanakan kegiatan pengadaan air bersih untuk Pastori melalui
penggalian sumur dengan ketua Tim Kerja Yudy
Lonteng. Tahun 1999 Jemaat telah memperoleh satu unit alat
musik organ yang disumbangkan oleh Kel. Roby Sangkoy-Lonteng
yang dipakai dalam setiap ibadah. Periode 2000-2004
kembali tim kerja Remaja Pemuda melaksanakan usaha pengadaan seperangkat sound
system.
Usaha-usaha pengadaan sarana
penunjang ibadah terus diadakan dari tahun ke tahun seperti lemari, perlengkapan perjamuan kudus bahkan untuk
melaksanakan administrasi yang teratur maka dengan berani jemaat membeli
seperangkat komputer dan dIbuat ruangan komputer pada bulan Desember 2004.
5. Rapat-rapat
Konsultasi dan Rekomendasi
Setelah jemaat Ritey masuk dalam
wilayah Tumpaan dari tahun-ketahun dilaksanakan rapat koordinasi pelayanan
secara bergiliran setiap jemaat. Kemudian tahun ke tahun pula mengikuti sidang-sidang di tingkat
Sinode baik perutusan jemaat maupun konsultasi-konsultasi Kategorial tingkat
Sinode. Dapat dikemukakan kembali bahwa peristiwa 100 tahun lalu (pertemuan
antar klasis 1885)
terulang kembali yaitu; Jemaat Ritey menjadi tuan rumah konsultasi pemuda se GMIM (Komisi D Bidang Program) ketika konsultasi
ini dilaksanakan di Tumpaan. Dengan demikian program pemuda tingkat Sinode digodok dan dirumuskan di gedung gereja GMIM “Bait’El” Ritey
pada tahun 2003.
Untuk menelusuri Sejarah berdirinya
Jemaat, maka Sidang Majelis Jemaat membentuk Panitia Penyusunan Sejarah Jemaat
yang kemudian melaksanakan Seminar penyusunan sejarah Jemaat pada tanggal 14
Agustus 2004 yang dihadiri oleh 70 peserta dari Jemaat dan Jemaat tetangga
dengan nara sumber sbb. :
1.
Pdt D.M Lintong, S.Th (Teolog/Sejarawan )
2.
Drs. Joudy Sangkoy
(mewakili Panitia)
3.
Ev Kristo M. Mirah (Evanglis, Budayawan)
4.
Jan M. A. Lontng, S.Pd.
(Dinas Pendidikan Nasional)
Hasil seminar merumuskan tanggal 16 Juni
1835 ditetapkan sebagai hari berdirinya Jemaat GMIM Ritey dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai mana dicantumkan pada bagian sebelumnya.
Sidang Majelis tanggal 31 Agustus 2004 memantapkan dan menetapkan tanggal. Bulan,
tahun tersebut di atas yang direkomendasikan Panitia Seminar sebagai HUT Jemaat
dan menetapan nama jemaat adalah “BAIT’EL”, yang dalam bahasa Ibrani (Bahasa
asli Peranjian Lama) berarti “Rumah Allah”. Bukti otentik terdapat pada tulisan
di atas pintu depan gereja yang ditahbiskan oleh Pdt. Thiel tahun 1936.
6. Minat dan Bakat
Dalam mengembangkan potensi warga
jemaat sejak 1970 Jemaat ikut serta dalam kegiatan-kegiatan Kesenian dan Olah
raga baik tingkat Wilayah maupun tingkat Sinode sebagai wujud kesaksian
Gereja. Pada tahun 1995-2004 frekwensi
penyelenggaraan kegiatan olah raga dan kesenian mengalami peningkatan di dalam
Jemaat yang diprakarsai oleh Pemuda dan Remaja maupun Jemaat.
Pada bagian akhir tulisan ini dapat
dikemukakan lagi menjelang dan pasca reformasi dan otonomisasi, dijemaat ini
pula sering mengundang dan dikunjungi para Pejabat Negara, Birokrat dan para
Politisi sekaligus memberikan “kesaksian” dan
“sedekah” untuk pmbangunan Bait’El.
Apalagi Desa Ritey berada di Ibu kota Kabupaten Minahasa Selatan.
7. Hubungan dengan
pemerintah dan antar golongan
Dengan masuknya Gereja Advent Hari Ke Tujuh 1936 dan Pantekosta di
Indonesia 1950 dan menyusul Gereja Segala Bangsa tahun 1977 yang masing-masing
dipimpin oleh Gerat Mamengko, Sangkoy-Lepa dan Gembala Tampi dari Tumpaan maka
dikembangkan hubungan saling menghargai dan saling menerima antar golongan
agama. Tampak terlihat disetiap kegiatan Ibadah Pemakaman (kedukaan) pada
Hari-hari raya Gereja Saling mengundang untuk ibadah bersama dan kegiatan ini berlangsung hingga sekarang.
Untuk memfasilitasi hubungan antar
Gereja, maka tahun 1980 dibentuklah Badan
Kerja Sama Antar Umat Beragama (BKSAUA) yang pimpinannya diambil dari semua Gereja
yang ada di kampung Ritey. Tahun 2003
BKSAUA dirubah menjadi BKSAG (Badan Kerja
Sama Antar Gereja).
Dalam hubungannya dengan pemerintahan, jemaat Bait’El Ritey
memiliki peran yang sangat strategis
(KK terbanyak) oleh karena itu sejak kampung ini berdiri sampai sekarang GMIM
Bait’El Ritey terus menjadi mitra pemerintah desa baik secara langsung maupun
tidak langsung bagi pembangunan fisik maupun mental spiritual masyarakat desa tercinta.
Majelis Jemaat Periode 2000 - 2004
C.
RUANG LINGKUP PELAYANAN JEMAAT 2005
– 2019
1.
STRUKTUR KELEMBAGAAN
Sebagai gereja yang
bersinode terus mengikuti dengan Tata Gereja GMIM tahun 2009 yang diadendum tahun 2012. Secara berturut-turut ditempatkan tenaga Pelayanan
sebagai berikut:
a.
Ketua Badan Badan Pekerja
Majelis Jemaat
1)
Pdt. Bpk. Gammy R.B. Porong,
S.Th digantikan oleh Pdt. Foneke S. Kojoh, S.Th (Ibu Tambuwun) 18 Agustus 2008.
2)
Pdt. Foneke S. Kojoh, S.Th (Ibu
Tambuwun) digantikan oleh Pdt. Bpk. Ventje S. Mait, S.Th tanggal 13 Oktober
2013
3)
Pdt. Bpk. Ventje S. Mait,
S.Th digantikan oleh Pdt. Bpk. Djemi A. Solang, M.Th bulan September 2014
4)
Pdt. Bpk. Djemi A. Solang,
M.Th digantikan oleh Pdt. Martha Rondonuwu, M.Th (Ibu Rumondor) tanggal 10 Februari 2019
Masing-masing penempatan dan
mutasi melalui SK Sinode
b.
Pendeta Jemaat
1)
Pdt. Winda Weol, S.Th (Ibu
Porong)
2)
Pdt. Nova Komenaung, S.Th (Ibu
Lempoy) 30 Januari 2011 sampai dengan 25 Oktober 2015
3)
Pdt. Bpk. Reonald M. Robot,
S.Th 25 Oktober 2015 sampai dengan 09 Juni 2019
4)
Vikaris Pendeta Frinestia O.B. Sepang, S.Th (Ibu
Robot) diteguhkan sebagai pendeta pada 18 Maret 2018.
5)
Sebelumnya tahun 2008 jemaat
pernah menerima Vikaris Pendeta Marsela Sangkoy, S.Th kemudian beralih status
sebagai ASN
c.
Guru Agama
1)
GA. Maartje Josephus (Ibu
Tambuwun) 28 Januari 2008 sampai dengan 16 Juni 2018
2)
GA. Felty Binanggal, S.PdK (Ibu
Mailakay) 30 Juni 2018 sampai sekarang
d.
Pegawai Jemaat
Dalam rangka menjawab
kebutuhan jemaat khusus bidang data dan administrasi maka tahun 2013 diangkat
Pegawai Jemaat Pmd. Roli O. Tutu dan masih bertugas sampai sekarang.
2.
PERSEKUTUAN
Pelayanan gereja
dilaksanakan secara teratur melalui program dan anggaran setiap tahun yang
ditetapkan lewat Sidang Majelis Jemaat seperti ibadah jemaat, ibadah kolom, ibadah
BIPRA dan ibadah syukur lainnya termasuk ibadah-ibadah sakramen. Tahun
2005-2009 Jemaat terdiri dari 10 kolom. Tahun 2010-2013 menjadi 11 kolom
kemudian 2014-2019 (sekarang) 14 kolom.
Ibadah Pengucapan syukur
tahun 2017 diliput oleh TV Nasional (TVRI) yang ditayangkan tanggal 21 Juli
2017.
3.
SARANA DAN PRASARANA
a.
Pembangunan Gereja
Pembangunan gereja yang
digunakan sekarang ditahbiskan oleh Pdt. Dr. H.W.B Sumakul tanggal, 16 Juni
2013 pada Hari Ulang Tahun Jemaat ke-178. Pada pentahbisan tersebut dihadiri
oleh Gubernur Sulawesi Utara diwakilkan oleh Bpk. Harold Monare, S.H, dan
Bupati Minahasa Selatan diwakili oleh Drs. Bpk. James Tombokan. Laporan panitia
pada acara peresmian gedung gereja, (bangunan gereja menelan biaya Rp.
1.000.000.000 diluar swadaya jemaat).
b.
Pastori I dan Konsistori
Dibangun struktur bangunan 2
lantai dengan anggaran kurang lebih Rp. 700.000.000. Bangunan Pastori dan
Konsistori ini ditahbiskan tanggal 31 Januari 2016 oleh Pdt. Bpk. Hendry C.M.
Runtuwene, S.Th, M.Si.
c.
Pengadaan lahan dan
pembangunan pastori II
Lokasi di Kampung Lama
wilayah pelayanan kolom 2 dan ditempati oleh Pdt. Bpk. Reonald M. Robot, S.Th
bersama keluarga. Pastori ini mulai ditempati pada tahun 2016.
d.
Pagar keliling gereja
Ditahbiskan tanggal 03
Desember 2017 oleh Pdt. Ibu Magritha C. Dalos, M.Th bersamaan dengan Peneguhan
Pelayan Khusus Periode 2018-2021. Pembangunan ini menelan biaya kurang lebih
Rp. 750.000.000.
e.
Pastori III
Rumah Dinas Guru (RDG)
beralih fungsi menjadi Pastori III bertempat di samping SD GMIM Ritey. Pertama
ditempati oleh Pdt. Nova Komenaung, S.Th (Ibu Lempoy) bersama keluarga.
f.
Pengadaan lahan untuk
pembangunan perpustakaan SD GMIM tahun 2010
g.
Sarana dan prasarana
persekutuan lainnya terus disiapkan oleh jemaat seperti sound sistem, komputer
(laptop), dll.
4.
PENDIDIKAN
Bidang ini menjadi perhatian
serius dalam program jemaat baik pendidikan formal maupun non formal.
a.
Pendidikan Formal
-
Beasiswa Perguruan Tinggi
Setiap tahun memberikan
beasiswa kepada mahasiswa yang akan ujian akhir. Anggota jemaat yang mengikuti
pendidikan D3, S1 dan S2 reguler mendapat subsidi dari kas jemaat.
-
Tenaga Guru
Tenaga guru SD yaitu Bpk. Maikel
Assa, S.Pd, Ibu Netty Tutu dan Olvie Sumanti, S.Pd (Ibu Weken).
Tenaga Guru TK yaitu Yeitje
Laala (Ibu Lintang).
b.
Pendidikan Non Formal
Warga jemaat juga
diikutsertakan dalam pendidikan tingkat Sinodal seperti:
Ø
LK3G diikuti oleh PKB dan
WKI
Ø
LTPR dasar, LTPR Lanjutan
dan TOT diikuti oleh Pembina remaja dan yang akan menjadi pembina remaja serta
LKRG untuk remaja.
Ø
LKPG dan LKP3G diikuti oleh
Pemuda
Ø
Penataran Dasar Guru Sekolah
Minggu
Selain keikutsertaan jemaat
pada tingkat Sinodal, jemaat GMIM “Bait’El Ritey juga mengadakan kegiatan
pelatihan seperti Pelatihan Manajemen Organisasi Kristiani GMIM tanggal 24
Februari 2018.
5.
MINAT DAN BAKAT
Memaknai hari-hari raya
gereja diadakan kegiatan-kegiatan lomba olahraga dan kesenian berupa Paduan
Suara antar kolom, Sepak Bola Mini, Sepak Takraw, Lomba Lampion, lomba-lomba
tradisional, lomba kebersihan, CCA.
Selain melaksanakan kegiatan
di jemaat, juga mengikuti kegiatan di aras Wilayah berupa kegiatan: Pawai
Alegoris, Lomba Dayung (tahun 2012 juara 1), Paduan Suara Campuran (tahun 2012
juara 1), Paduan Suara Pelsus (tahun 2017 juara 1), Lomba Voli, tarik tambang,
sepak bola, dan CCA.
BIPRA aktif dalam kegiatan
Sinodal dan turnamen lainnya sebagai peserta maupun pelaksana, seperti:
-
PKB: Tingkat Sinode berupa: CCA,
Paduan Suara, Lari Karung, dan mengikuti kegiatan Internasional pada event Bali
International Choir Festival (BICF) tahun 2014, dapat diceritakan di sini
persiapan keberangkatan mengalami pergumulan dalam hal tiket kontingen
digelapkan oleh pihak travel bahkan ketika tampil di Art Centre Bali uang tiket
kembali ke Manado tidak ada. Tapi berkat kerjasama dengan pihak PU Minsel
dengan perjanjian menggali dan memindahkan kurang lebih 25 kubur maka peserta
paduan suara dapat pulang ke jemaat dan melanjutkan kegiatan Paduan Suara PKB
tingkat Sinode di Minahasa Utara Oktober 2014. Juga pernah menjadi
penyelenggara kegiatan Try Out Paduan Suara Rayon Minahasa Selatan dan undangan
lainnya tahun 2015 dengan peserta kurang lebih 18 tim. Sebagai penyelenggara
juga Tingkat Sinode pada ajang HUT PKB ke-54 tahun 2016 khusus Paduan Suara
Middle Choir.
-
WKI: mengikuti kegiatan-kegiatan lomba baik tingkat Wilayah maupun sinodal
seperti Paduan Suara, Baca Mazmur, Bintang Vokalia, Jalan Cepat, Senam Jantung
Sehat, Tenteng Sosiru, dll.
-
Pemuda: Mengikuti kegiatan lomba Tingkat Sinode seperti
Paduan Suara, Cerdas Cermat Alkitab, Vokal Grup serta Kegiatan Perkemahan
Tingkat Sinode maupun Tingkat Rayon. Keikutsertaan pada pawai paskah kategori
alegori tingkat Sinode yaitu pada tahun 2008 di Tomohon, tahun 2009 di Amurang dan
2011 d Tondano. Pada kegiatan pawai paskah, pemuda jemaat Bait’El Ritey pernah
menjadi juara 1 di tingkat Sinode. Peserta pawai paskah melibatkan hampir
seluruh anggota jemaat dari yang sudah tua-tua sampai anak-anak termasuk jemaat
dari golongan gereja lain seperti GESBA dan Advent. Selain itu juga pemuda
mengikuti pawai paskah dalam kategori kreatifitas yang hanya melibatkan anggota
pemuda.
-
Remaja: Mengikuti kegiatan Tingkat Sinode yaitu Event Hari
Persatuan Remaja, dimana pada event ini sejak tahun 2018 (juara 1 dan 2 lintas
alam, juara 1 dan 3 CCA Seri A Madya serta juara 2 CCA Seri A Taruna) dan 2019
(juara 1 dan 2 CCA Seri A Taruna, juara 2 CCA Seri A Madya serta juara 2 CCA
Pembina) mengantar Wilayah Tumpaan sebagi
juara umum. Beberapa kali mengikuti kegiatan Paskah Sinode dan menjadi juara
kategori Pawai Alegori tahun 2010 (di Tondano) dan tahun 2013. Mengikuti
Perkemahan Tingkat Sinode dan pernah menjadi juara umum. Aktif mengikuti
kegiatan Pesta Seni Remaja dan pernah mendapat juara 3 bintang vokalia dan
juara 3 baca mazmur. Aktif mengikutsertakan anggota remaja pada ajang seleksi
Remaja Teladan dan tahun 2018 di Rayon Minahasa Selatan menjadi juara 1 Remaja
Teladan putri dan juara 3 Remaja Teladan putra, Remaja Teladan Kategori Cinta
Lingkungan Rayon Minahasa Selatan serta menjadi Remaja Teladan Cinta Lingkungan
tingkat sinode. Pernah mengikuti kegiatan tingkat internasional pada event Bali
International Choir Festival (BICF) tahun 2015. Dalam kegiatan BICF ini Tim
Kerja Remaja juga mengalami kendala dalam hal keuangan ketika akan kembali ke
jamaat, namun berkat kerjasama dengan pihak PU Minsel untuk memasang lampu
jalan dari Pondang sampai Bitung maka kendala keuangan tersebut dapat teratasi.
Mengikuti kegiatan undangan CCA jemaat lain maupun instansi yang bersifat open
turnamen (tahun 2019 juara 1 dan 3 di jemaat Via Dolorosa, juara 3 di jemaat
Paulus Titiwungen, juara 3 di IAKN. Menjadi pelaksana Try Out se-Rayon Minahasa
dalam rangka Hari Persatuan Remaja untuk lomba CCA Seri A dan Seri B Selatan 19
Januari 2019.
-
ASM: Mengikuti kegiatan lomba tingkat Sinode yaitu Pawai Paskah dan menjadi
juara 1 berturut-turut tahun 2018 dan tahun 2019. Mengikuti lomba paduan suara
dan perkemahan anak sekolah minggu dan guru-guru sekolah Minggu.
Semua kegiatan minat bakat yang diikuti oleh
jemaat di tingkat wilayah, sinode, undangan-undangan jemaat dan instansi, serta
keikutsertaan di tingkat internasional hasilnya berupa mendali, piagam dan
tropi tersimpan di konsistori. Karena prestasi demikian, maka Komisi BIPRA
Jemaat diperhitungkan dalam komposisi Komisi Sinode dan Wilayah. Pnt. Fieke
Weken, S.Pd sebagai Ketua Komisi Remaja Wilayah Tumpaan periode 2010-2013, Pnt.
Cerry Lumankun, S.E (Ibu Lumankun) Ketua Komisi Remaja Wilayah Tumpaan dan
anggota Komisi Remaja Sinode periode 2015-2018, Pnt. Rolin Sangkoy, S.Pd (Ibu
Mamengko) Ketua Komisi WKI Wilayah periode 2018-2021. Sekretaris PKB Wilayah
Pnt. Bpk. Joudy Sangkoy, M.Si Periode 2014-2017 dan Periode 2018-2021, Wakil
Ketua Remaja Wilayah Pnt. Bpk. Tedy Tumurang, S.E Periode 2018-2021.
6.
SOSIAL BUDAYA, EKONOMI DAN KEMITRAAN
Pola hidup jemaat seperti gotong royong,
saling membantu masih terlihat dalam kehidupan bersama baik dalam suka maupun
duka. Kegiatan budaya yang masih dilaksanakan dilaksanakan setiap akhir tahun
dan awal tahun adalah kumantar (menyanyi
naik turun rumah – pada perayaan Natal dan Tahun Baru) yang diikuti oleh
pemuda, remaja dan juga didukung oleh orang-orang tua yang dengan semangat
mempertahankan budaya ini. Walaupun pada peristiwa kedukaan sudah jarang keterlibatan
pemuda dalam kegiatan budaya seperti masamper.
Mata pencarian jemaat sebagian besar adalah
petani dengan hasil seperti kopra, cengkih, vanili. Hasil-hasil pertanian lainnya dapat dijual dengan mudah
dikarenakan masih terdapat jemaat yang setia dalam usaha bakulan (tibo). Infrastruktur pertanian pada masa
ini mempermudah para petani setelah dibangunnya jalan-jalan perkebunan di
seluruh penjuru sehingga kendaraan roda empat dapat masuk ke area perkebunan.
Sementara jemaat yang memiliki kendaraan roda sapi tinggal beberapa saja.
Pada awal tahun 2014 jemaat Bait’El Ritey ikut
berpartisipasi pada peristiwa bencana alam di kota manado kira-kira 100 tenaga
dengan 2 buah dump truck serta bahan diakonia lainnya.
Kerja sama pihak gereja dengan pemerintah desa
terus dibangun dengan aktifnya Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat dalam organisasi BAMAG desa Ritey.